Senin, 29 Juni 2009

Who’s the Real Candidate for Change?


Who can we believe? 

The short answer is none of them. They are all politicians and they are enamored with giving false truths. I find it interesting that we are now to judge a candidate for changed based upon earmarks alone. What about the war, poverty, porous borders, failing infrastructures, alternative or new energy sources, dissolving freedoms, faltering economy, failed foreign policies from both parties, political liars and deadbeats, illegal immigration, failing education system, liberal judges, the Iranian nuclear fiasco, the increasing Russian problem, not to mention the retirement of millions of baby boomers that will break the social security system. The list goes on and on. Earmarks, give me a break. The politicians will always find a way to get money for their pet projects. By requiring a vote they will simply hold up emergency funding bills to help people and annual appropriations to keep the government running. 

Hillary Clinton: She wants to destroy the country with her socialist beliefs and is so hated by the Republicans that they will not allow her to get anything done like the Democrats always do to the Republicans. The government will lose any standing they still have with the American people. She will finish off our lackluster appeal in foreign countries. Our taxes will skyrocket.

Barack Obama: Nice guy speaks well but is too new and will be eaten alive by Washington. He will be a lame duck from day one. Iran will become a powerful force and Russia will revisit the cold war. Our taxes will skyrocket.

John McCain: Would keep Iran from becoming anything while giving the country away to the illegal aliens. John McCain as President would result in a democratically controlled or liberal government. Taxes might go down or stay steady while the national debt increases. Foreign policy, what foreign policy? The Democrats would keep him from accomplishing anything.

If you want change you need to fix the problem. We need to get rid of the current Congressmen and women, and all Senators while voting into office individuals that would effect change. This means we as Americans need to take responsibility for our own actions. We need to do away with government handouts and require able bodied persons to work while phasing out the welfare system. We need to strengthen our borders and give real jail time to the criminals that make it through. The education system needs to be completely revamped to actually teach our children something worth while and require physical education through twelfth grade. Radical Muslim schools, mosques and groups need to be shut down. Iraq needs to finally survive on its own. Running for president should not require a one-hundred-million dollar war chest to be considered. The MSM needs to be taken to task for their bias and sometime fabricated reporting. We need to get out of the UN and NATO and stop sending all our money to foreign countries while we still have so many un-addressed problems here in the United States. We need to get rid of the ACLU and sanctuary cities. By the way, we should build new jails to house the illegal aliens in the sanctuary cities since they like them so much. 

We have so many problems here at home and so many changes begging to be addressed. Earmarks will always be around in some form. To pick the true candidate for change based upon earmarks alone is foolish. Unfortunately, we do not have much of a choice this time around thanks to the MSM, liberal nuts and conservative
A poem for Mr. B. HUSSEIN Obama:

Baa Baa Change Man, have you any money?
Yes sir, yes sir, sho do honey.
Got money for fairycan and the weatherman too
Better hold onto your wallet cause I’m gonna get you.

Baa Baa Money Man, have you any hope?
Yes sir, yes sir, sure as dope.
Black power promises from my pastor,
Now I gonna be precedent, only faster.

Baa Baa, Precedent, what’s the Bankrupt America Act?
Its hope and change and that’s a fact 
So watch your pockets as I gorge them to the end
To send yo money to my overseas friends.

Watch out boys and girls, the idiots that can’t read
in Washington are gearing up to pass the Precedent
Boy’s Global Poverty Act that will bankrupt America
and in the process allow the UN to tax Americans to
the benefit of despots all over the planet.


Jumat, 26 Juni 2009

KRITIK TERHADAP KEKELIRUAN ORIENTALIS (Rekonstruksi Sejarah Teks Al-Qur’an)



A. Rekonstruksi Sejarah Teks Alquran

Walaupun penerjemahan buku The History of the Qur'anic Text (2003) karya Profesor Muhammad Mustafa al-Azami ke dalam bahasa Indonesia patut disambut gembira, namun catatan kritis harus segera dikemukakan. Azami begitu dismisif menolak kesarjanaan Barat tentang Alquran, terutama meyangkut penelusuran historis atas teks baku Alquran. Saya kira, sebagaimana kita perlu kritis membaca karya-karya orientalis, kita juga harus kritis membaca karya Azami ini.Adnin Armas dalam tulisannya Selamat Datang, Profesor Azami! (Republika, 30/3/2005) memuji karya Azami ini seolah telah berhasil mematahkan argumen kaum orientalis dan membongkar niat busuk di balik kajian mereka terhadap Alquran. Saya melihat sebaliknya, Azami tidak masuk ke jantung perdebatan diskursif yang berkembang di Barat, sehingga gagal merespons secara intelektual isu-isu penting dalam studi kaum orientalis tentang Alquran. Ada dua kegagalan cukup menonjol dalam karya Azami ini, yakni responsnya bersifat seporadis dan tidak mendalam, dan gagal menyelami korpus kesarjanaan Barat yang begitu beragam.
Namun demikian, cara Azami merespons kesarjanaan Barat secara intelektual patut diteladani. Berbeda dengan kebanyakan ulama Timur Tengah yang kerap mengutuk Barat tanpa melahirkan karya ilmiah, Azami memperlihatkan konsistensi menjawab intelektualisme Barat secara intelektual pula. Sebelumnya, ia menulis kritik intelektual berjudul On Schacht's Origins of Muhammadan Jurisprudence (1985) sebagai respons terhadap karya Joseph Schacht (1902-1969) berjudul Origins of Muhammadan Jurisprudence (1950); suatu karya penting yang kini menjadi fondasi studi hadits di kalangan sarjana Barat pasca Ignaz Goldziher (1850-1921). Saya kira, pesan Azami jelas: jika tidak setuju dengan karya-karya Barat, kita seyogianya menulis karya-karya intelektual yang punya bobot ilmiah serupa.
Alquran dalam studi Barat Azami mengakui luasnya intensitas dan ekstensitas studi Barat tentang Alquran. Namun, belum apa-apa, ia sudah menuduh penelitian sarjana-sarjana Barat didorong oleh a definite motive behind all these 'discoveries'. Sebelum menyebut deretan nama-nama sarjana Barat yang punya perhatian terhadap studi Alquran, Azami memulai dengan kalimat ''Upaya-upaya untuk mendistorsi Islam dan kesucian teksnya sebenarnya seusia agama ini sendiri, kendati strategi di balik upaya-upaya tersebut mengalami fluktuasi sesuai tujuan yang hendak dicapai.'' (hlm 8).
Prasangka ini begitu kuat mengarahkan studi Azami terhadap karya-karya orientalis. Hasilnya bisa kita tebak, Azami begitu dismisif menolak temuan-temuan sarjana Barat dan menganggap mereka hendak menghancurkan Islam dengan menebarkan keraguan terhadap Alquran dan hadits. Menjawab prasangka dengan prasangka yang sama memang persoalan klasik, tetapi sangat disayangkan ternyata ini juga menjangkit cendekiawan sekaliber Azami.
Sikap dismisif Azami terlihat dari kenyataan bahwa dia sama sekali tidak menyebut sarjana-sarjana Barat yang menolak tesis keraguan terhadap otentisitas teks Alquran. Nama-nama yang banyak disebut Azami adalah Geiger, Noldeke, Tisdall, Jeffrey, Rippin, Crone, Calder dan tentu saja dedengkotnya Wansbrough yang disebutnya the most radical approach to ousting the Qur'an 
from its hollowed status."
Bagi mereka yang sempat membaca karya-karya Barat tentang studi Alquran, walaupun tidak mendalam, tentu akan merasa aneh jika tidak menyebut Richard Bell, Montgomery Watt, Tashihiko Izutsu, Alford Welch, Daniel Madigan, atau Kenneth Cragg yang banyak menulis karya-karya simpatik tentang Alquran. Sarjana yang disebut terakhir menulis dua karya bagus yang menjadi bacaan favorit saya, The Event of the Qur'an (1971) dan The Mind of the Qur'an (1973).
Di antara sarjana Barat yang banyak diserang Azami adalah Wansbrough. Memang, studi Wansbrough terutama yang tertuang dalam dua karya utamanya, Qur'anic Studies (1977) dan The Sectarian Milieu (1978), sangat berpengaruh. Poin metodologis mendasar dalam karya Wansbrough adalah untuk mempertanyakan pertanyaan penting yang biasanya tidak disinggung dalam studi Islam: apa buktinya. Bukti apa yang kita miliki yang menunjukkan akurasi historis mengenai kebenaran penjelasan tradisional bahwa Alquran dikompilasi pada waktu tidak lama setelah wafatnya Nabi? Menurut Wansbrough, sumber-sumber non-Islam yang awal membuktikan bahwa keberadaan Alquran dapat dilacak pada abad kedua Hijrah. Bahkan, sumber-sumber Islam yang awal sendiri, menurut Wansbrough, mengindikasikan bahwa teks Alquran belum ditetapkan secara total hingga awal abad ketiga (1977: 163). Karena itu, ia mengajukan empat postulat historis: (1) tidak terdapat alasan untuk mengasumsikan historisitas sumber-sumber tertulis Islam awal dalam bentuk apa pun, termasuk Alquran, sebelum abad ketiga; (2) konsekwensinya, sumber-sumber tersebut tidak bisa dijadikan basis bagi sejarah asal-usul Islam; (3) sebaliknya, sumber-sumber itu merepresentasikan suatu proyeksi ke belakang ''teks-teks Hijazi'' yang sebenarnya berkembang di luar jazirah Arabia, utamanya Irak; (4) kunci untuk memahaminya adalah dengan melihat pengaruh Yahudi terhadap perkembangan formatif tradisi Muslim.
Namun, tidak berarti tesis ini sepenunya diamini sarjana-sarjana Barat lain. Fred Donner (dari Universitas Chicago) dan William Graham (dari Universitas Harvard) termasuk mereka yang paling artikulatif menolak tesis bahwa Alquran tidak dikodifikasi sejak abad pertama. Donner mengajukan argumen tekstual-historis dalam karyanya Narratives of Islamic Origins (1998), sementara Graham menguliti empat postulat historis Wansbrough dalam artikel review-nya di Journal of the American Oriental Society (1980). Dan, Azami melewatkan begitu saja perdebatan intelektual ini.

B. Integritas teks Alquran

Terdapat kesan umum bahwa perdebatan seputar sejarah teks Alquran sangat tipikal Barat. Banyak kalangan berasumsi, sementara kaum Muslim menerima fakta Alquran sebagaimana kita saksikan sekarang secara taken for granted, sarjana-sarjana Barat mempersoalkan integritas teks Alquran demi memunculkan keraguan terhadap kalam Ilahi tersebut. Asumsi ini sama sekali tidak berdasar. Bila kita telusuri dengan cermat, diskusi tentang integritas teks Alquran bukan monopoli kesarjanaan Barat, tapi sudah terjadi pada periode-periode sangat awal dalam Islam. Di sini kita hendak mendemonstrasikan intensitas dan ekstensitas perdebatan isu-isu krusial tentang teks Alquran. Persoalan utama dalam perdebatan tersebut ialah apakah teks Usmani mencakup seluruh materi yang diwahyukan kepada Nabi, atau apakah ada materi (ayat) yang hilang dari teks Usmani?
Sebenarnya literatur Sunni sendiri memperbincangkan berbagai riwayat yang menyebutkan sejumlah ayat telah hilang sebelum Alquran dihimpun atas inisiatif Abu Bakar. Pakar ilmu Alquran Suyuti dalam Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an meriwayatkan bahwa Umar pernah mencari-cari ayat Alquran yang ia lupa-lupa ingat. Umar menjadi sedih sekali, karena akhirnya ia menemukan orang yang mencatat ayat itu telah meninggal saat Perang Yamamah, dan akibatnya ayat itupun hilang (vol.I: 204). Umar juga ingat ayat-ayat lain yang ia pikir hilang dari Alquran, termasuk satu ayat tentang kewajiban terhadap orang tua dan satu lagi tentang jihad (vol.III: 84). Hal ini dibenarkan oleh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, dan Ubay bin Ka'ab. Demikian juga dikemukakan Anas bin Malik dan Abdullah bin Umar.
Banyak keberatan juga ditujukan pada teks Alquran versi Usmani yang dibakukan hingga sekarang. Sejumlah riwayat menyebutkan, banyak sahabat terkemuka tidak menjumpai dalam teks resmi sejumlah ayat yang mereka sendiri dengar dari Nabi, atau menemukannya dalam bentuk berbeda. Ubay bin Ka'ab, misalnya, membaca surat al-Bayyinah dalam versi berbeda yang ia klaim didengarnya dari Nabi, termasuk dua ayat yang tidak tercatat dalam teks Usmani. Ia berkata, versi orisinal dari surat al-Ahzab lebih panjang; ia juga mengingat ayat rajam hilang dari teks Usmani. Hal ini didukung oleh Zaid bin Tsabit dan Aisyah (yang menyebutkan pada masa hidup Nabi surat tersebut tiga kali lebih panjang). Hudzaifah bin Yaman menemukan sekitar tujuh puluh ayat tidak tercantum dalam teks Usmani, ayat-ayat yang ia sendiri biasa membacanya pada masa hidup Nabi. Ia mengatakan, surat al-Bara'ah (ke-9) dalam teks Usmani hanya sepertiga atau seperempat dari apa yang ada pada masa Nabi.
Riwayat di atas tidak bersumber dari orientalis, melainkan kitab-kitab ulama terdahulu. Sekali lagi, Azami menghindar untuk mendiskusikan isu krusial ini. Padahal, ulama-ulama besar, bahkan para sahabat, telah memulai perdebatan ini, sehingga tidak perlu ada yang ''ditabukan''. Apa yang dikeluhkan Umar, dan sabahat terkemuka lainnya setelah peresmian teks standar Usmani, membenarkan kekhawatiran Arkoun bahwa Alquran kini menjadi korpus tertutup resmi (official closed corpus). Sungguh amat disayangkan, kaum Muslim kini masih terus mentahbiskan ketertutupan korpus itu.











BAB II
PEMBAHASAN

Al-Qur’an, sejak diturunkan sampai sekarang, diyakini oleh kaum muslimin sebagai kalam Allah Subhanahu wa ta’ala yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Salalhhuhu alaihi wasalam. Umat Islam juga sepakat bahwa kitab tersebut terjaga keotentikannya. Semua isinya diyakini kebenarannya, tanpa reserve.  
Kaum muslimin meyakini sebagai mukjizat abadi Nabi Muhammad SAW, setiap kata di dalam Al-Qur’an adalah perkataan atau kalam Allah yang qadim. Ia tetap terpelihara seperti bentuk aslinya, sebagaimana janji Allah atas kemurniannya yang disebutkan dalam Al-Qur’an: 
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” Ayat ini oleh kaum muslimin diyakini sebagai bentuk jaminan dari Allah yang akan menjaga keaslian Al-Qur’an sampai hari kiamat. Ayat seperti ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab lain. Artinya, kitab selain Al-Qur’an tidak ada yang menjamin dirinya terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. 
  Tentu saja, fakta ini membuat iri pemeluk agama-agama lain, khususnya orientalis-misionaris dari Yahudi dan Nasrani. Maklum, sampai sekarang, belum ada kesepakatan diantara mereka mengenai keaslian kitabnya. Sebagian bahkan terang-terangan mengatakan bahwa kitab mereka bermasalah dari segi otentisitas. Ini mereka nyatakan setelah melakukan kajian yang medalam terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Misalkan ditemukan bukti bahwa bahwa pada abad 5 Masehi, Perjanjian Lama (PL) isinya ternyata mengalami perubahan. Demikian juga Perjanjian Baru (PB) juga mengalami hal yang sama.
  Hal inilah yang kemudian membuat para orientalis sangat berambisi agar kaum muslimin juga mencontoh mereka, yaitu mempersoalkan atau bahkan menggugat isinya. 
  Untuk memberi kesan seolah-olah yang mereka lakukan itu obyektif dan autoritatif, sehingga bisa dicontoh kaum muslimin, biasanya mereka “berkedok” sebagai pakar dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur, baik yang ‘jauh’ (Far Eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang ‘dekat’ (Near Estern, seperti Persia, Mesir, dan Arabia). 
  Disadari atau tidak, dalam lingkup kajian Al-Qur’ân, akar gerakan orientalisme memang benar-benar telah menjalar demikian dalam, kokoh dan tak mudah dicabut. Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari beragam ‘analisa’ yang mereka lakukan, seakan-akan tampak sebagai buah dari kajian objektif dan sistematis. Padahal sejatinya, kajian tersebut penuh dengan kecurangan-kecurangan. 
  Sayangnya, sebagian sarjana muslim ternyata terpengaruh dengan hasil kajian-kajian orientalis tersebut. Karenanya, tidak heran jika sebagian dari mereka ada yang terhanyut, lalu tenggelam oleh derasnya rasionalisme; metode dasar kajian orientalisme. Bahkan mereka merasa kagum dengan kajian-kajian tersebut dan menganggap pling limiah. Atau setidaknya mereka menjadi pembela para orientalis dan menganjurkan kaum muslimin agar tidak apriori dan mencontoh kajian yang dilakukan mereka terhadap Al-Qur’an.
  Entah karena motif apa, kelompok ini kemudian juga mencoba ikut-ikutan menggugat, mempersoalkan dan mengutak-atik yang sudah jelas dan mapan dalam Al-Qur’an.  
  Sebagai bukti, Luthfi Assyaukanie, Direktur Lembaga Religious Reform Project (RePro) Jakarta, dalam tulisannya ‘Alquran dan Orientalisme’ yang dimuat milis Jaringan Islam Liberal, mengajak kaum muslimin menjadikan karya-karya orientalis sebagai rujukan dalam mengkaji Al-Qur’an.
  Menurutnya, karya-karya mereka layak dipakai sebagai penuntun untuk mengetahui sejarah Al-Qur’an secara lebih komprehensif. Ini didasari pemikiran bahwa studi yang dilakukan orientalis sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania dapat membantu mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik. Dengan bantuan para orientalis, kaum muslimin dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Al-Qur’an.
  Bahkan Luthfi dengan bangganya mengatakan, dirinya telah mengecek sebagian sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk beberapa orientalis seperti Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, dan John Wansbrough. Menurutnya, dalam melakukan studi Al-Qur’an, sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.
  Lebih ironis lagi, Luthfi menuduh para ulama sengaja menyembunyikan data tentang sejarah Al-Qur’an. Atau setidaknya menilai mereka tidak tahu akan wacana yang begitu kompleks dalam literatur sejarah kitab suci kaum muslimin tersebut. 
  Berdasar pandangan ini, kemudian ia menolak adanya pemikiran negatif dari kaum muslimin tentang orientalis. Menurutnya, pandangan-pandangan yang kerap dituduh sebagai “ciptaan orientalis” itu sesungguhnya adalah fakta sejarah yang terekam dalam kitab-kitab mu’tabarah (rujukan). Misalkan ia mencontohkan, dalam al-Fihrist karya Ibn Nadiem disebutkan bahwa surah Al-Fatihah bukanlah bagian dari Al-Qur’an; dalam Al-Itqan karya Jalaluddin al-Suyuthi disebutkan bahwa surah al-Ahzab semula berjumlah 200 ayat, tapi kemudian dipotong hingga kini hanya menjadi 73 ayat; dalam al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karya Imam Zarkasyi disebutkan bahwa ada dua surah yang tidak dimasukkan dalam mushaf Uthmani, yakni surah al-Khul’ dan al-Hafd.
  Data-data seperti itu, menurut Luthfi, diungkapkan dan didiskusikan secara obyektif oleh para orientalis, dan kaum muslimin bisa langsung mengecek dan membuktikannya dengan merujuk kitab-kitab yang disebutkan. Akses terhadap kitab-kitab klasik itu pun semakin mudah karena sebagian besar sudah di-tahqiq dan diterbitkan.
  Karenanya, Luthfi berksimpulan, manfaat yang diwariskan tradisi keilmiahan orientalisme jauh lebih besar ketimbang mafsadahnya.
  Pemikiran seperti ini kini mulai berkembang dan mendapat tempat di kalangan pemikir muda Islam yang memang memiliki pola pikir yang sama dengan Lutfie. Paper ini mencoba mengkritisi pemikiran tersebut dengan memulai melakukan kajian terhadap sejarah orientalisme, kemudian usaha mereka menjatuhkan Islam dan kenapa sebagian kaum muslimin bisa terpengaruh dengan pemikiran tersebut. Kemudian juga dipaparkan bantahan-bantahan dari cendekiawan muslim yang bisa membuktikan bahwa kajian para orientalis itu penuh dengan penipuan dan kecurangan-kecurangan. Kajian-kajian mereka didasari oleh rasa kebencian terhadap Islam dan kaum muslimin. 
 
A. Sejarah Orientalisme 

Dalam buku Ensiklopedi Islam, orientalisme didefiniskan sebagai pemahaman masalah-masalah ketimuran. Istilah ini berasal dari bahasa Perancis, orient yang berarti timur atau bersifat timur. Isme berarti paham, ajaran, sikap atau cita-cita.
Secara analitis, orientalisme dibedakan atas: (1) keahlian mengenai wilayah timur (2) metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran, dan (3) sikap ideologis terhadap masalah ketimuran, khususnya terhadap dunia Islam. Orang yang mempelajari masalah-masalah ketimuran (termasuk keislaman) disebut orientalis. Para orientalis adalah ilmuwan Barat yang mendalami bahasa-bahasa, kesustraan, agama, sejarah, adat istiadat dan ilmu-ilmu dunia Timur. Dunia Timur yang dimaksud di sini adalah wilayah yang terbentang dari Timur Dekat sampai ke Timur jauh dan negara-negara yang berada di Afrika Utara.
Minat orang Barat terhadap masalah-masalah ketimuran sudah berlangsung sejak Abad Pertengahan. Mereka telah melahirkan sejumlah karya yang menyangkut masalah Dunia Timur.
Dalam rentang waktu antara Abad Pertengahan sampai abad ini, secara garis besar, orientalisme dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: (1) masa sebelum perang Perang Salib, di saat umat Islam berada dalam zaman keemasannya (650-1250); (2) masa Perang Salib sampai Masa Pencerahan di Eropa; dan (3) munculnya Masa Pencerahan di Eropa sampai sekarang.

a) Masa Sebelum Perang Salib 

Di saat umat Islam berada dalam zaman kekemasan, negeri-negeri Islam, khususnya Baghdad dan Andalusia (Spanyol Islam) menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Bangsa Eropa yang menjadi penduduk asli Andalusia yang memakai bahasa Arab dan adat-istiadat Arab dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bersekolah di perguruan-perguruan Arab.
Diantara raja-raja spanyol yang non-muslim (misalkan, Peter I (w.1104), raja Arogan), ada yang hanya mengenal huruf Arab. Alfonso IV mencetak uang dengan memakai tulisan Arab. Di Sicilia keadaannya juga sama. Raja Normandia, Roger I, menjadikan istananya sebagai tempat pertemuan para filsuf, dokter-dokter, dan ahli islam lainnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika Roger II bahkan lebih banyak dipengaruhi kebudayaan Islam. Pakaian kebesaran yang dipilihnya ialah pakaian Arab. Gerejanya dihiasi dengan ukiran dan tulisan-tulisan Arab. Wanita Kristen Sicilia meniru wanita Islam dalam soal mode pakaian.
Peradaban itu bukan hanya berpengaruh bagi bangsa Eropa yang berada dibawah atau bekas kekuasaan Islam, tetapi juga bagi orang Eropa di luar daerah itu. Penuntut ilmu dari Perancis, Inggris, Jerman, dan Italia, dating belajar ke perguruan dan universitas yang ada di Andalusia dan Sicilia. Di antaranya terdapat pemuka-pemuka agama Kristen, misalnya Gerbert d’Aurillac yang belajar di Andalusia dan Adelard dari Bath (1107-1135) yang belajar di Andalusia dan Sicilia. Gerbert kemudian menjadi Paus di Roma dari tahun 999-1003 dengan nama Sylvester II. Adapun Adelard setelah kembali ke Inggris diangkat menjadi guru Pangeran Hanry yang kelak menjadi Raja. Ia menjadi salah satu penerjemah buku-buku Arab ke dalam bahasa Latin.
Dalam suasana inilah muncul orientalisme di kalangan Barat. Bahasa Arab mulai dipandang sebagai bahasa yang harus dipelajari dalam bidang ilmiah dan filsafat. Pelajaran bahasa Arab dimasukkan dalam kurikulum berbagai perguruan tinggi Eropa, seperti di Bolagna (Italia) pada tahun 1076, Chartres (Perancis) tahun 1117, Oxford (Inggris) tahun 1167, dan Paris tahun 1170. Munculnya penerjemah generasi pertama, yakni Constatinus Africanus (w.1087) dan Gerard Cremonia (w.1187).
Dalam fase pertama ini, tujuan orientalisme ini memindahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dunia Islam ke Eropa. Ilmu pengetahuan tersebut diambil sebagaimana adanya.
Pada perkembangan berikutnya, perhatian orang Eropa terlihat kian meningkat. Pelajaran bahasa Arab semakin digiatkan di universitas-universitas. Di Italia pengajaran bahasa Arab diadakan di Roma (1303), Florencia (1321), Padua (1361), dan Gregoria (1553), di Perancis diadakan di Toulouse (1217), Montpellier (1221), dan Bourdeaux (1441); dan di Inggris dilaksanakan di Cambridge (1209). Di bagian Eropa lainnya pelajaran bahasa Arab dimulai sesudah ke-15.

b) Dari Perang Salib sampai Masa Pencerahan Eropa 

Perang Salib antara Kristen Barat dan Islam Timur yang berlangsung dari tahun 1096-1291 membawa kekalahan bagi golongan Kristen. Tidak lama setelah perang agama ini selesai, Kerajaan Otoman (Usmani) mengadakan serangan-serangan ke Eropa. Adrianopel jatuh pada tahun 1366, Constatinopel (Istanbul) jatuh pada tahun 1453, bahkan Yerusalem dirampat umat Islam dan kemudian disusul wilayah Balkan.
Kekalahan dalam perang Salib dan jatuhnya Constatinopel merupakan pengalaman pahit Kristen Eropa, sehingga raja-raja Eropa bersumpah untuk mengusir kaum “kafir”. Maka muncullah semangat orang-orang Eropa untuk mengkritik, mengecam, dan menyerang Islam dari berbagai kepentingan. Sebagai bias dari kebencian ini, pengarang-pengarang orientalis mulai menulis buku-buku dengan gambaran yang salah terhadap Islam. Hal-hal yang sebenarnya tidak terdapat dalam islam, bahkan yang bertentangan mulai disiarkan ke Eropa.
Dalam periode ini, para orientalis menggambarkan nabi Muhammad SAW sebagai orang yang terserang epilepsy, gila perempuan, penjahat, pendusta, dan sebaganya. Oleh karena itu agama yang dibawanya bukanlah agama yang benar. Yang benar adalah agama Kristen yang dibawa Yesus Kristus.
Agama Islam juga dikatakan mengajarkan Trinitas. Dua dari unsur trinitas itu adalah Muhammad SAW dan Apollo. Disebutkan pula bahwa Nabi Muhammad Saw disembah dalam bentuk patung yang terbuat dari emas dan perak. Dikatakan juga Islam membolehkan poliandri. Selanjutnya disebutkan pula bahwa orang Islam diwajibkan membunuh orang Kristen sebanyak mungkin sebagai suatu jalan masuk surga. Islam menurut mereka disiarkan dengan pedang, dalam arti pedang diletakkan di leher orang agar dia masuk Islam. Jadi kesalahpahaman tentang Islam yang ditimbulkan oleh orientalis ketika itu lebih parah daripada kesalahpahaman tentang Kristen yang ditumbulkan tulisan-tulisan orang Islam.

c) Dari Masa Pencerahan hingga Sekarang 

Permusuhan antara Kristen dan Islam yang timbul akibat adanya tulisan-tulisan negatif mulai mereda setelah memasuki Masa Pencerahan (Enlightenment) di Eropa, yang diwarnai oleh keinginan untuk mencari kebenaran. Pada masa ini kekuatan rasio mulai meningkat. Dalam sebuah tulisan yang diperlukan adalah sifat obyektif, bukan mengada-ada. Mulailah muncul tulisan-tulisan mengenai Islam yang mencoba bersifat positif, misalnya tulisan-tulisan Voltaire (1684-1778) dan Thomas Crlyle (1896-1947).
Tidak semua tulisan mengenai Islam mengandung hal-hal yang menjelek-jelekkan, akan tetapi telah mulai berisikan penghargaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan Al-Qur’an serta ajaran-ajarannya. Jadi mereka mengadakan studi mengenai Islam untuk mengetahui Islam yang sebenarnya.
Setelah Masa Pencerahan, datanglah Masa Kolonialisme. Orang Barat dating ke negara Islam untuk berdagang dan kemudian untuk mendudukkan bangsa-bangsa Timur. Untuk itu bangsa-bangsa Timur perlu dikenal lebih dekat, termasuk agama dan kultur mereka, karena dengan ini hubungan dagang menjadi lancar dan mereka mudah ditundukkan.
Pada masa ini muncullah karya-karya yang mencoba memberikan gambaran yang sebenarnya tentang Islam. Misalnya tentang agama dan adat istiadat Indonesia. Bahkan ketika Napoleon I mengadakan eksperimen ke Mesir pada tahun 1798, ia membawa sejumlah orientalis untuk mempelajari adat istiadat, ekonomi dan pertanian Mesir. Di antara orientalis itu adalah Langles (ahli bahasa Arab), Villoteau (mempejari musik Arab) dan Marcel (mmpelajari sejarah Mesir).
Pada periode ini tulisan-tulisan para orientalis ditujukan untuk mempelajari Islam seobyektif mungkin, agar dunia Islam diketahui dan dipahami lebih mendalam. Hal ini perlu karena orientalisme tidak bisa begitu saja terlepas dari kolonialisme, bahkan juga usaha Kristenisasi.
Namun begitu, awal abad ke-20 juga ditandai dengan munculnya para orientalis yang berusaha menulis dunia Islam secara ilmiah dan obyektif. Orientalisme dijadikan sebagai usaha pemahaman terhadap dunia Timur secara mendalam. Dalam tradisi ilmiah baru ini, bahasa Arab dan pengenalan teks-teks klasik mendapat kedudukan utama. Diantara mereka adalah Sir Hamilton A.R. Gibb, Louis Massignon, W.C. Smith, dan FrithjofSchoun.
Sir Hamilton dan Gibb sangat menguasai bahasa Arab dan dapat berceramah dengan bahasa ini, sehingga ia diangkat menjadi anggota al-ajma’al al-Ilm al-Arabi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab) di Damascus dan al-Majma’ al-Lugho al-Arabiyyah (Lembaga bahasa Arab di Cairo), Mesir. Ia memandang Islam sebagai agama yang dinamis dan Nabi Muhammad SAW mempunyai ahlak yang baik dan benar.
Gibb menulis buku tentang Islam dalam berbagai aspeknya hingga mencapai lebih dari 20 buah, sehingga oleh orientalis lain dipandang sebagai iman mereka tentang Islam.
Sama seperti Gibb, Louis Massignon juga mahir berbahasa Arab dan menjadi anggota al-ajma’al al-Ilm al-Arabi dan al-Majma’ al-Lugho al-Arabiyyah. Ia pernah menjadi dosen filsafat Islam di universitas Cairo. Ia mengatakan, berkat adanya tasawuf, Islam menjadi agama internasional yang pengikutnya ada di seluruh dunia.
W.C. Smith mempunyai ilmu yang mendalam tentang Islam. Ia adalah pendiri Institut Pengkajian Islam di Universitas McGill di Montreal, Canada. Ia mengatakan bahwa Tuhan ingin menyampaikan risalah kepada manusia. Untuk itu Tuhan mengirim rasul-rasul dan satu diantara rasul itu ialah Muhammad SAW.
Frithjof Scoun menulis buku dengan judul Understanding Islam yang mendapat sambutan baik dari dunia Islam. Sayid Husein Nasir (ahli ilmu sejarah dan filsafat), misalkan, menyebut buku tersebut sebagai buku terbaik tentang Islam sebagai agama dan tuntunan hidup.
Namun tidak semua pendapat yang dimajukan para orientalis modern tentang Islam bisa diterima kaum Muslimin, karena diantara mereka ada yang salah dalam menginterpretasi terhadap ajaran-ajaran Islam.
Kegiatan yang dilakukan orientalis meliputi: (1) mengadakan kongres-kongres secara teratur yang dimulai di Paris tahun 1870-an dan di kota-kota lain di dunia secara bergantian. Kongres-kongres pada mulanya bernama Orientalist Congress. Sejak tahun 1870-an telah berganti nama menjadi International Congres on Asia and North Africa; (2) mendirikan lembaga-lembaga kajian ketimuran, diantaranya Ecole des Langues Orientalis Vivantes (1795) di Perancis, The School of Oriental and African Studies, Universitas London, (1917) di Inggris, Oosters Institut (1917) di Universitas Leiden, dan dan Institut voor het Moderne Nabije Oosten (1956) di Universitas Amsterdam: (3) mendirikan organisasi-organisasi ketimuran seperti Societe Asiatuque (1822) di Paris, American Oriental Society (1842) di Amerika Serikat, Royal Asiatic Society di Inggris, dan Oosters Genootschap in Nederland (1929) di Leiden; dan (4) menerbitkan majalah-majalah, diantaranya Journal Asiatique (1822) di Paris, Journal of the Royal Asiatic Society (1899) di London, Journal of the American Oriental Soceity (1849) di Amerika Serikat, The Muslim World (1917) di Amerika Serikat. Majalah-majalah ini sebagian besar masih terbit sampai sekarang. 
Sebenarnya, objek studi orientalisme tidak melulu Islam dan kebudayaannya. Studi terhadap kebudayaan Cina masih termasuk dalam lingkup orientalisme. Namun, yang paling kental mewarnai gelombang orientalisme adalah studi tentang Islam dan kebudayaannya.
Diantara para oreintalis tersebut, memang kita akui ada yang obyektif menilai Islam. Tapi sebagian besar bersifat subyektif dan memiliki misi tertentu. Nama-nama seperti Arthur Jeffry, Alphonse Mingana, Pretzal, Tisdal, Gadamer dan lain-lain termasuk kelompok orientalis yang selama ini dikenal memusuhi Islam. Banyak karya tulis mereka yang memojokkan Islam dan kaum muslimin.
Sir Willliam Muir (1819-1905) tanpa ragu-ragu membuat pernyataan, “Islam sebagai musuh peradaban, kebebasan, dan kebenaran sebagaimana diakui dunia” Pernyataan seperti ini bukanlah hal yang baru yang akan terus dilontarkan para orientalis. Sangat wajar jika kemudian kaum muslimin merasa sakit hati dan tidak terima dengan pernyataan-pernyataan seperti itu. Dan juga tidak wajar jika diantara umat Islam merasa tidak sakit hati sebagaimana yang dinyatakan Lutfi.

B. Orientalis dan Al-Qur’an 

Salah satu objek kajian dalam Islam yang menarik minat orientalis adalah Al-Qur’an. Mereka sengaja mengkaji kitab suci kaum muslimin ini untuk mencari pembuktian kalau-kalau ada penyimpangan di dalamnya, sebagaimana yang terjadi pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Diantara karya mereka yang nampak jelas berkaitan dengan masalah ini antara lain:
A. Mingana and A. Smith (ed.) dalam bukunya, “Leaves from Three Ancient Qurans, Possibly Pre-’Othmanic with a List oftheir Variants, Cambridge, 1914;”G. Bergtrasser, dalam bukunya, “Plan eines Apparatus Criticus zum Koran”, Sitrungsberichte Bayer. Akad., Munchen, 1930, Heft 7; O. Pretzl, dalam bukunya “Die Fortfuhrung des Apparatus (’riticus zum Koran”, Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5;” danA. Jeffery dalam bukunya, “The Qur’an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New York, 1952.”
Dari nama-nama tersebut, Jeffery barangkali paling banyak menguras tenaga dalam masalah ini. Para orientalis ini begitu getol ‘menyerang’ Al-Qur’an, karena tidak rela melihat kenyataan bahwa kaum muslimin masih meyakini keotentikan Al-Qur’an. Sedang kenyataan yang terjadi pada mereka, Injil terbukti bermasalah, yang membuat mereka kecewa. Sehingga dengan segala upaya, mereka juga ingin menjatuhkan Al-Qur’an.
Didasari oleh kecemburuan inilah kemudian mereka mengumumkan perlunya melakukan kritik terhadap Al-Qur’an, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap Bible.
  Pada tahun 1927, Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur’an sebagaimana yang telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Koran to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).” 
  Tentus saja ajakan ini disambt baik oleh para orientalis lainnya. Mereka sengaja melakukan hal ini karena ingin mencari pembuktian bahwa Al-Qur’an kemungkinan juga bukan asli, sebagaimana yang terjadi pada Bible yang memang terbukti banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar wahyu dan bukan. 
  Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland dalam “The Text of the New Testament” (1995), bahwa sampai abad ke-14 teks Perjanjian Baru berkembang bebas, sehingga banyak yang melakukan koreksi terhadap teks Bible baik dari segi tata bahasa, gaya bahasa dan isinya (Until the beginning of the fourth century, the text of the New Testament developed freely….Even for later scribes, for example, the parallel passages of the Gospels were so familiar that they would adapt the text of one Gospel to that of another. They also felt themselves free to make corrections in the text, improving it by their own standard of correctness, whether grammatically, stylistically, or more substantively). 
  Demikian juga St.Jerome, seorang rahib Katolik Roma yang belajar teologi, juga mengeluh soal banyaknya penulis Bibel yang menuliskan apa yang tidak ditemukan, tapi apa yang mereka pikirkan artinya; selagi mereka mencoba meralat kesalahan orang lain, mereka hanya mengungkapkan dirinya sendiri. (wrote down not what they find but what they think is the meaning; and while they attempt to rectify the errors of others, they merely expose their own). 
  Kecewa dengan kenyataan semacam itu, R. Bentley, Master of Trinity College pada tahun 1720 menghimbau Umat Kristen agar mencampakkan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru versi Paus Clement 1592 (”…the ‘textus receptus’ to be abandoned altogether”!). 
  Seruan tersebut dilanjutkan dengan munculnya “edisi kritis” Perjanjian Baru hasil ‘utak-atik’ Brooke Foss Westcott (1825-1903) and Fenton John Anthony Hort (1828-1892
  Ternyata setelah mereka selesai melakukan kritik terhadap Bible, kemudian dilanjutkan terhadap Al-Qur’an. Dengan memakai metodologi yang sama, yaitu model tafsir hermeneutik, mereka mulai mengkaji Al-Qur’an. Ini mereka lakukan karena berangapan bahwa Al-Qur’an juga bikinan manusia yaitu, Nabi Muhammad sebagaimana Al-Kitab yang memang mereka temukan buatan manusia. 
Sebenarnya, anggapan mereka ini sudah dibantah sendiri oleh Allah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman
(”Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.”
  Ayat ini secara tersirat menjelaskan bahwa Nabi Muhammad bukanlah pembuat Al-Qur’an. Yang membuat Al-Qur’an adalah Dzat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah SWT. 
  Mingana bukanlah yang pertama kali melontarkan himbauan semacam itu, dan ia juga tidak sendirian. Jauh sebelum itu, tepatnya pad 1834 di Leipzig, seorang orientalis Jerman bernama Gustav Fluegel menerbitkan hasil kajian filologinya. Naskah yang ia namakan Corani Textus Arabicus tersebut sempat dipakai “tadarrus” oleh sebagian aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). 
  Kemudian datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksi sejarah Al-Qur’an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal. 
  Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang ingin mendekonstruksi al-Mushaf al-Uthmani dan membuat mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University, Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, konon ingin merekonstruksi teks Al-Qur’an berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang ia anggap mengandung bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan (yang ia istilahkan dengan ‘rival codices’). Jeffery bermaksud meneruskan usaha ini. 
  Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl yang pernah bekerja keras mengumpulkan foto lembaran-lembaran (manuskrip) Al-Qur’an dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Qur’an (tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II berkecamuk), sebuah ambisi yang belum lama ini di-echo-kan oleh Taufik Amal dari JIL. Saking antusiasnya terhadap qira’aat-qira’aat pinggiran alias ‘nyleneh’ (Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh. 
  Bagi para orientalis ini, ‘isnaad’ tidak penting dan, karena itu, riwayat yang ’shaadh’ bisa saja dianggap ’sahih’, yang ‘aahaad’ dan ‘ghariib’ bisa saja menjadi ‘mutawaatir’ dan ‘mashhuur’, dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna. Yang demikian itu merupakan teknik dan strategi utama mereka menjungkir-balikkan kriteria dan nilai, menyepelekan yang fundamental dan menonjolkan yang ‘trivial’. Maka yang digembar-gemborkan adalah isu naasikh-mansuukh, soal adanya surat tambahan versi kaum Shi’ah, isu “Gharaaniq” dan lain sebagainya. Ada pula yang apriori mau merombak susunan ayat dan surah Al-Qur’an secara kronologis, mau “mengoreksi” bahasa Al-Qur’an ataupun ingin merubah redaksi ayat-ayat tertentu.
  Kajian orientalis terhadap Al-Qur’an tidak sebatas mempersoalkan oentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan lain sebagainya terhadap Islam & isi kandungan Al-Qur’an (theories of borrowing and influence), baik yang mati-matian berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi ‘teori pinjaman dan pengaruh’ tersebut-seperti dari literatur & tradisi Yahudi-Kristen (Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain) -maupun yang membandingkannya dengan adat-istiadat Jaahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka akan mengatakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Qur’an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat. 
  Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan ‘miring’ seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson. Kata Nicholson, “Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. Al-Qur’an] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings-largely consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.” 
  Namun ibarat buih, segala usaha mereka muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil merubah keyakinan dan penghormatan mayoritas umat Islam terhadap kitab suci Al-Qur’an, apalagi sampai membuat mereka murtad.
  Sampai sekarang kaum muslimin tetap yakin bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang terjaga keotentikan dan keasliaannya. Apalagi dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah menantang orang-orang kafir membikin satu ayat yang sepadan dengan Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: 
”Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain."
  Tantangan ini sampai sekarang masih tetap berlaku dan mereka terbukti tidak bisa menjawabnya. Keindahannya, kedudukannya dan keasliannya adalah bukti bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang diwahyukan oleh Allah. 

C. Kekeliruan Para Orientalis 

Para orientalis telah mencurahkan seluruh hidupnya guna mencari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Pertama kali yang mereka lakukan adalah mencoba menyingkap perubahan teks Al-Qur’an yang menurut mereka tidak terjadi dalam kajian kitab Injil. 
Pendapat ini telah dibantah oleh Prof. Dr. M.M al A’zami dalam bukunya berjudul: “The History of The Qur’anic Text - From Revelation to Compilation”. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Sejarah Teks Al-Quran, Dari Wahyu Sampai Kompilasinya.” 
Dalam buku ini Dr. Azami dengan gamblang menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan yang mendasar dalam teks-teks Injil. Kitab Injil yang sekarang ini sudah mengalami perubahan beberapa kali. Sebelum muncul keempat Injil yaitu Markus, Matius, Yohanes dan Lukas, para pengikut awal Yesus telah menyusun kitab mereka masing-masing. Dalam kita tersebut tak ada hal yang dramatis tentang kehidupan Yesus. Tak ada riwayat-riwayat mengenai pengorbanan dan penebusan spiritual. Fokusnya hanya terbatas pada ajaran-¬ajarannya, pikiran-pikirannya dan tata cara serta perilaku yang ia jelaskan. Begitu juga pada pembaruan-pembaruan sosial yang ia canangkan.
Karangan yang sekarang disebut Injil Yesus, yang kemudian diberi nama Injil Q, bukanlah sebuah teks yang asli. Selama abad pertama orang-orang telah menyisipkan teks-teks yang berbeda dengan isi Injil tersebut. Tulisan yang asli sangat mencolok yaitu penuh dengan kalimat-kalimat yang sederhana tapi padat, tanpa adanya ajakan kepada suatu agama baru dan tidak ada isyarat apa pun tentang Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan. 
Generasi kedua membawa pergeseran warna, yang secara tersurat mengancam terjadinya kehancuran bagi mereka yang menolak gerakan mereka. 
Namun, pergeseran yang ironis terjadi pada generasi ketiga dan terakhir, yang memasukkan tambahan ke Injil Q, pada masa percobaan pemberontakan Yahudi Pertama (66-70 M.), yaitu dibawah bayangan kehancuran Rumah Tuhan yang Kedua oleh serdadu Romawi. Di sinilah Yesus di-upgrade dari seorang nabi yang bijak menjadi Anak Tuhan (Son of God), pewaris Kerajaan Ayah, yang berhasil melawan godaan-godaan di dalam hutan-belantara.
Dengan begitu, kitab ini telah terbukti rentan terhadap perubahan, sebagai korban dari berbagai mitos yang mulai beredar di kalangan Kristen tentang siapa sebenarnya Yesus. Tapi meski demikian, dalam lapisan ketiga ini pun tidak terdapat ajakan untuk menyembah Kristus, atau menganggapnya sebagai seorang Tuhan yang dibayangkan lewat ritual-ritual dan doa. Tidak terdapat penyaliban, apalagi penebusan untuk seluruh manusia.
Kemudian DR. Azami dengan tegas menulis bahwa Markus, Matius, dan Lukas menggunakan Q saat menulis Injil mereka menjelang akhir abad pertama. Tapi mereka dengan sengaja memelintir teks itu (masing-masing dengan caranya sendiri) untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Ini artinya, Q sebagai sebuah kitab sebenarnya telah hilang keotentikannya. Teks-teks yang menggantikannya, berupa riwayat-riwayat kehidupan Kristus yang dramatis, telah mengantarkan kepada suatu perubahan serta membantu menghidupkan mitos-mitos dan spekulasi yang sejak itu telah menutupi figur Yesus yang sebenarnya. Selain masalah perubahan teks, para orientalis juga menyerang Al-Qur’an dari segi kompilasi. Mereka mempertanyakan kekhawatiran Umar akan lenyapnya Al-Qur’an setelah banyaknya para huffaz yang meninggal dalam perang Yamamah
Lebih jauh lagi, para orientalis mempertanyakan mengenai bahan¬-bahan yang telah ditulis waktu itu tapi tidak disimpan oleh Nabi Muhammad sendiri. Demikian halnya mengenai Zaid bin Tsabit yang tidak berhasil menyusun Suhuf Al-Qur’an yang bisa dipakai rujukan setelah meninggalnya Rasulullah. 
Berdasar asumsi tersebut kemudian para orientalis berkesimpulan bahwa berita Al-Qur’an yang didektikan sejak awal penulisannya dianggap palsu.
Terhadap pendapat ini DR. Azami mengatakan bahwa kesimpulan itu sangat keliru dan ngawur. Para orientalis itu berlagak tolol dan mengingkari tradisi keilmuan Islam. Rasulullah memang sengaja tidak menyimpan setiap naskah Al-ur;an dikarenakan waktu itu masih turun wahyu-wahyu baru. Juga adanya perubahan-perubahan urutan ayat-ayat yang akan merubah pula urutan dikemudian hari. Jika ini dilakukan maka Rasulullah khawatir akan membuat informasi yang keliru dan merugikan ummatnya. Ini jelas kerugian lebih besar dari pada manfaatnya.
Adapun Zaid bin Tsabit tidak menyusun dan tidak menjadikannya sebagai rujukan pada masa pemerintahan Abu Bakar, ini terkait dengan legimitasi sebuah dokumentasi. Untuk mendapat sebuah pengesahan, seorang murid harus menjadi saksi mata dan menerima secara langsung dari gurunya. Jika unsur kesaksian tidak ada, buku seorang ilmuwan yang telah meninggal dunia, misalnya, akan menyebabkan hilanganya nilai teks itu. Inilah yang dilakukan Zaid demi menghindari kekuarang-sahnya teks tersebut..
Dalam mendikte ayat-ayat Al-Qur’an kepada para sahabat, Nabi Muhammad SAW, membuat jalur periwayatan yang lebih tepercaya berdasar pada hubungan antara guru dengan murid. Sebaliknya, karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah yang terdapat pada kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama sebagai perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain.
Mengenai kekhawatiran Umar terhadap meninggalnya para sahabat yang huffat, ini terkait dengan hukum persaksian. Dengan jumlah yang ribuan, para huffaz memperoleh pengetahuan tentang Al-Qur’an melalui satu-satunya otoritas yang saling beruntun di muka bumi ini, yang akhirnya sampai pada Nabi Muhammad. Setelah beliau wafat, mereka (para sahabat) menjadi sumber otoritas selanjunya. Meninggalnya mereka hampir-hampir telah mengancam terputusnya kesaksian yang berakhir pada Nabi Muhammad.
Demikian pula jika mereka mencatat ayat-ayatnya menggunakan tulisan tangan, akan kehilangan nilainya jika pemiliknya meninggal karena tidak dapat memberi pengesahan tentang kebenarannya itu. Sebab dikhawatirkan ada beberapa bahan tulisan yang bukan Al-Qur’an. Jadi saksi merupakan legimitasi utama untuk menentukan sah tidaknya naskah tersebut.
Itulah sebabnya dalam membuat kompilasi Suhuf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang bukan saja harus membawa ayat, melainkan juga dua saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu datang langsung dari Nabi Muhammmad. Hal yang sama juga terjadi pada jaman Usman. Dengan demikian ayat-ayat yang telah ditulis itu tetap terpelihara, apakah para huffat wafat di Yamamah ataupun tidak.
Otoritas saksi merupakan poin paling penting dalam menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen, yang paling dijadikan titik sentral kekhawatiran Umar. Dalam pengumpulan teks tersebut, atas saran Umar, Abu Bakar As-Sidiq menunjuk Zaid bin Tsabit. Penunjukan ini sangat tepat, karena Tsabit adalah mantan sekretaris pribadi Nabi yang tahu persis kapan Rasulullah menerima wahyu. 
Zaid sengaja dipilih karena dia orang kepercayaan Nabi Muhammad SAW yang kejujurannya dan intelektualitasnya tidak diragukan.
Meski Rasulullah memiliki banyak sahabat namun tidak sembarangan sahabat dipilih oleh beliau untuk menulis Al-Qur’an. Para penulis yang ditunjuk Rasulullah adalah para sahabat pilihan yang memiliki kemampuan tulis yang indah. Diantaranya Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab; Muadz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat lain. 
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwasanya ia berkata: “Al-Qur’an dikumpulkan pada masa Rasul SAW oleh 4 (empat) orang yang kesemuanya dari kaum Anshar; Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. Anas ditanya: “Siapa ayah Zaid?” Ia menjawab: “Salah seorang pamanku”. Setelah itu Zaid melakukan pengumpulan lembaran-lembaran Al-Qur’an yang terdapat pada lembaran pelepah kurma dan lempengan batu putih, seta memori kaum muslimin. 
Selain DR. Azami, muridnya, yaitu DR. Syamsuddin Arif juga memberikan jawaban terhadap kekeliruan-kekeliruan yang sengaja dibuat oleh orientalis. Dalam sebuah makalahnya berjudul “Kekeliruan Para Orientalis” ia menjelaskan bahwa para orientalis telah membuat asumsi yang keliru mengenai Al-Qur’an, yaitu diantaranya:
Pertama, mereka mengasumsikan bahwa Al-Qur`an adalah dokumen tertulis atau teks, bukan “hafalan yang dibaca”. Padahal, pada prinsipnya Al-Qur`an bukanlah tulisan (rasm atau writing), tetapi bacaan (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turunnya (pewahyuan), penyampaian, pengajaran, sampai periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan ”membaca Al-Qur`an” adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin atau to recite from memory).
Jadi kekeliruan orientalis bersumber dari sini. Orientalis seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Quran sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio.
Padahal tulisan yang ada hanya berfungsi sebagai penunjang semata-mata. Sebab pada awalnya ayat-ayat Al-Qur`an dicatat di atas tulang, kayu, kertas, daun, berdasarkan hafalan sang qari’/muqri’. Proses transmisi semacam ini–dengan isnad (narasumber) secara mutawatir dari generasi ke generasi–terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur`an hingga hari ini.
Tim yang dipimpin Zaid bin Tsabit yang melakukan transmisi ini juga bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah para sahabat yang hafal seluruh kandungan Al-Qur’an dan tidak diragukan kredibilitasnya sebagai orang yang memiliki hafalan yang kuat.
Ini sungguh berbeda dengan kasus Bibel. Tulisannya—fakta manuskrip dalam bentuk papyrus, perkamen, dan sebagainya–memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum (perjanjian) alias Gospel. Tidak ada satupun sejarah yang menyebutkan bahwa penulis Bible sekalipun yang hafal kitabnya, baik separuhnya, apalagi seluruhnya.
Disengaja atau tidak, mereka masih tetap berpatokan bahwa pengumpulan Al-Qur’an hanya berasal dari tulisan, bukan hafalan. Dengan asumsi keliru ini—menganggap Al-Qur`an semata-mata sebagai teks– mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur`an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 Masehi dan 8 dengan masyarakat sekeliling mereka.
Mereka mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!). Karena itu mereka mau membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, dan hendak membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada. Mereka lupa bahwa pengumpulan Al-Qur’an lebih banyak didapatkan dari hafalan-hafalan para sahabat yang memang diakui memiliki kekuatan hafalan yang sangat bagus. Tradisi menghafal masyarakat Arab ketika itu lebih kuat daripada tradisi tulis-menulis. Apalagi teks-teks Al-Qur’an itu memang mudah dihafal oleh anak kecil sekalipun. Terbukti sampai sekarang banyak anak-anak yang usia muda hafal Al-Qur’an. Hal ini tidak terjadi pada kitab lain seperti Al-Kitab. 
Kedua, meskipun pada prinsipnya Al-Qur`an diterima dan diajarkan melalui hafalan, namun juga dicatat melalui berbagai medium tulisan. Sampai Rasulullah wafat, hampir seluruh catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat sehingga kualitas dan kuantitasnya berbeda satu sama lain. Ini karena para sahabat menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir glosses) di pinggir atau di sela-sela ayat untuk keperluan masing-masing.
Baru setelah menyusutnya jumlah penghafal Al-Qur`an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam’) pun dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu ’anhu hingga Al-Qur`an terkumpul dalam satu mushaf berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawatir dari Nabi.
Setelah wafatnya Abu Bakr (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah ‘Umar bin Khattab sampai wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafshah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah ‘Utsman bin Affan.
Pada masa inilah, atas desakan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira’at yang ada. Mereka juga ditugasi meneliti dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standardisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan.
Saat transmisi, versi petama, yaitu yang dikumpulkan pada jaman Abu Bakar dan Umar, dijadikan patokan. Kitab ini disimpan di Madinah dan tiga salinan dari naskah asli ditulis dan dikirimkan ke tiga kota, yaitu Damaskus, Bashrah dan Kufah, dan salinan-salinan lainnya dimusnahkan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira’ah-qira’ah mutawatir yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi. Jadi, sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya. Sedang untuk mushaf yang tidak standar disuruh dibakar.
Namun pembakaran mushaf ini oleh Arthur Jeffery dijadikan titik poin untuk mengkritik Al-Qur’an. Menurut Jeffery, ketika Uthman r.a. mengirim teks standar ke Kufah dan memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar, Ibnu Mas’ud menolak menyerahkan mushafnya. Dia marah karena teks yang dibuat Zaid ibn Thabit yang lebih muda, lebih diprioritaskan dibandingkan mushafnya. Padahal ketika Ibn Mas’ud sudah menjadi Muslim, Zaid masih berada dalam pelukan orang-orang kafir.
Asumsi Jeffry ini dibantah oleh Adnin Armas, dalam bukunya, “Metode Bibel dalam Studi Al-Quran” yang membuktikan ketidakjujuran orientalis yang satu ini dalam melakukan studi Al-Quran.
Di sini tampak jelas kekeliruan atau ketidakjujuran Jeffery dalam menulis sejarah Al-Quran. Ia tidak mengkaji secara menyeluruh sikap Abdullah ibn Mas’ud. Padahal, Kitab al-Mashaahif – yang diedit sendiri oleh Jeffery — menunjukkan bahwa Ibn Mas’ud meridhai kodifikasi yang dilakukan Uthman bin ‘Affan. Ibnu Mas’ud mempertimbangkan kembali pendapatnya yang awal dan kembali kepada pendapat Uthman dan para Sahabat lainnya.
Ibnu Mas‘ud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya. Jadi, pendapat Jeffery menjadi naïf karena justru dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery, Ibnu Mas‘ud pada akhirnya menyetujui kebijakan Utsman, yang disokong oleh para sahabat lainnya. Meski demikian, para orientalis biasanya akan mulai dengan mempertanyakan fakta ini dan menolak hasilnya. Mereka menganggap sejarah kodifikasi tersebut hanya kisah fiktif dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 M.
Di sini kelihatan bahwa para orientalis tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Qur`an tidak sama dengan Bibel. Al-Qur`an bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya, manuskrip lahir dari Al-Qur`an.
Ketiga, salah faham tentang rasm dan qira’ah-qira’ah. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Qur`an ditulis gundul, tanpa tanda-baca sedikit pun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Namun rasm ‘Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar Al-Qur`an langsung dari para sahabat dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.
Ironisnya, orientalis semacam Arthur Jeffery dan Gerd R Joseph Puin menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings (ragam pembacaan)–sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel–serta keliru menyamakan qira’ah dengan readings. Mereka tidak tahu bahwa kaidah yang berlaku pada Al-Qur`an adalah tulisan mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi (rasmu taab’iun li riwaayah), bukan sebaliknya.
Para orientalis itu juga salah faham mengenai rasm Al-Qur`an. Dalam bayangan mereka, munculnya bermacam-macam qira’ah disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca bisa saja berimprovisasi dan membaca sesuka hatinya. Padahal ragam qira’ah telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm.
Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm Al-Qur`an telah disepakati dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung pelbagai qira’ah yang diterima. Misalnya, dengan menyembunyikan (hadzf) ”alif” pada kata ”m-l-k” (Al-Fatihah: 4) demi mengakomodasi qira’ah ‘Ashim, al-Kisa’i, Ya’qub, dan Khalaf—yang menggunakan “maaliki”atau panjang–sekaligus qira’ah Abu ‘Amr, Ibnu Katsir, Nafi’, Abu Ja’far, dan Ibnu ‘Amir–”maliki” atau pendek.
Mungkin ada yang bertanya: Apakah semua qira’ah telah tertampung oleh rasm Utsmani? Adakah qira’ah mutawatir yang tidak terwakili oleh rasm Utsmani? Atau, apakah naskah-naskah yang dikirim oleh Khalifah ‘Utsman ke berbagai kota (Makkah, Basrah, Kufah, Damaskus) seragam rasm-nya dan sama dengan yang ada di Madinah atau berbeda-beda, yakni sesuai dengan harf atau qira’ah yang dominan di kota tersebut?
Yang masuk katagori ketiga cukup banyak. Menurut Prof Dr Sya’ban Muhammad Ismail dari Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir), jumlah qira`ah yang ditulis dengan rasm berbeda-beda dalam mashahi ‘Utsman, tanpa pengulangan, mencapai 58 kata.
Dari sini jelas, mushaf-mushaf yang dikirim oleh Khalifah ‘Utsman ke berbagai kota itu beragam rasm-nya, sesuai dengan bacaan sahabat yang diutus untuk mengajarkannya. Namun demikian tetap saja bacaan tidak bergantung pada teks. Dan memang, qira’ah sahabat (yang dikirim ke sebuah kota) atau perawinya tidak otomatis sama dengan mushaf yang beredar di kota itu, tetapi pada umumnya sama.
Boleh saja seorang imam atau perawi membacanya sesuai dengan riwayat dan rasm yang ada di mushaf kota lain. Contohnya, Imam Hafsh di Kufah membaca Surat Az-Zukhruf: 71 dengan bacaan ”tasytahiihi al-anfus” (dengan dua ha), seperti tertera dalam mushaf Madinah dan Syam. Padahal dalam mushaf Kufah tertulis ”tasytahi” (dengan satu ha). Ini dibolehkan mengingat salah satu syarat diterimanya sebuah qira’ah adalah sesuai dengan salah satu rasm mushaf ‘Utsmani.
Sebaliknya, jika suatu qira’ah tidak tercatat dalam salah satu mushaf Utsmani, qira’ah tersebut dianggap syadz’ (janggal) dan tidak dapat diterima. Itu karena bertentangan dengan rasm yang disepakati atau rasm yang telah menampung dan mewakili semua qira’ah mutawatir.
Jika demikian halnya, maka improvisasi liar atau bacaan liberal seperti yang direka-reka oleh para orientalis sudah pasti ditolak.

D. Tuduhan Terhadap Rasulullah 

Ternyata orientalis tidak hanya cukup menyerang Al-Qur’an, tapi juga menyerang Rasulullah sebagai orang yang dianggap membuat wahyu. Menurut DR. Azami, mereka menuduh Rasulullah telah melakukan kecurangan-kecurangan dengan melakukan pemalsuan terhadap agama Yahudi dan Kristen. Mereka menuduh Rasulullah mengadopsi ajaran-ajaran Bibel, kemudian menggantikannya dengan ajaran yang sesuai dengan selerah beliau. Wanshrough, adalah salah seorang penggagas ide ini. Ia mengatakan, “Doktrin ajaran Islam secara umum, bahkan ketokohan Muhammad, dibangun di atas prototype kependetaan agama Yahudi.”
Bahkan dalam sebuah artikel yang dimuat di Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke, tokoh Orientalis, menyebutkan bahwa banyaknya kekeliruan di dalam Al-Qur’an disebabkan “kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi. Rasulullah dituduh ceroboh dalam melakukan identifikasi nama-nama yang beliau ambil dari sumber Yahudi. Ia mengatakan: “[Bahkan] orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih…. [Dan] dalam kebodohannya tentang sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang-karena hujan, dan bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil (xii. 49).”
Bahkan mereka yakin bahwa Al-Quran adalah buatan Muhammad. Gibb dalam bukunya, Al-Wahyu Al-Muhammadi, berkata bahwa Al-Quran hanya buatan orang tertentu, yaitu Muhammad yang hidup di lingkungan khusus, yaitu di kalangan Makkah sehingga kehidupan beliau terwarnai oleh apa yang beliau ungkapkan.
Tuduhan ini dibantah oleh DR. Azami dengan menyebutkan bahwa Noldeke dan kawan-kawan telah melakukan kebohongan. Hanya karena tidak disebutkan dalam kitab Yahudi, nama Hamam dianggap tidak ada pada masa Fir’aun. Atau Noldeke tidak malu menunjuk bahwa Al-Qur’an menyebut Maryam (Ibu al¬Masih) sebagai “saudara perempuan Harun”, bukan Musa. Harun ada di jajaran terdepan dalam kependetaan orang-orang Bani Israel; yang menurut Perjanjian Baru, Elizabeth, saudara sepupu Maryam dan juga ibunya Yunus, semua lahir dari keluarga pendeta, yang berarti itu merupakan “anak-anak perempuan Harun.”
Dengan keterangan itu, DR. Azami menjelaskan bahwa secara meyakinkan diketahui baik Maryam atau Elizabeth merupakan “saudara-saudara perempuan Harun” atau “anak-anak perempuan `Imran” (ayah Harun).
Sedang mengenai tuduhan Noldeke mengenai kesuburan negeri Mesir, DR. Azami menjawab bahwa membanjirnya Sungai Nil pada sebagian daerah, disebabkan adanya perbedaan curah hujan, seperti telah dibuktikan para pakar lingkungan.
 Berkaitan dengan sumber penulisan Al-Quran, kaum orientalis menuduh bahwa isi Al-Quran berasal dari ajaran Nasrani, seperti tuduhan Brockelmann. Sedangkan Goldziher menuduhnya berasal dari ajaran Yahudi.
Dalam banyak penelitan, para orientalis menyebarkan berbagai tuduhan negatif seputar Al-Quran. Misalkan seorang orientalis bernama Noeldeke dalam bukunya, Tarikh Al-Quran, menolak keabsahan huruf-huruf pembuka dalam banyak surat Al-Quran dengan klaim bahwa itu hanyalah simbol-simbol dalam beberapa teks mushhaf yang ada pada kaum muslimin generasi awal dulu, seperti yang ada pada teks mushhaf Utsmani. Ia berkata bahwa huruf mim adalah simbol untuk mushhaf al-Mughirah, huruf Ha adalah simbol untuk mushhaf Abu Hurairah. Nun untuk mushhaf Utsman. Menurutnya, simbol-simbol itu secara tidak sengaja dibiarkan pada mushhaf-mushhaf tersebut sehngga akhirnya terus melekat pada mushhaf Al-Quran dan menjadi bagian dari Al-Quran hingga kini.

E. Usaha Orientalis Merusak Al-Qur’an 

Meski semua tuduhan orientalis sudah dijawab oleh sarjana-sarjan Islam, namun usaha untuk menghancurkan Al-Qur’an tetap mereka lakukan. Tanpa malu-malu mereka berusaha merubah Al-Qur’an.
DR. Azamai menjelaskan bahwa pada tahun 1847 Flugel mencetak indeks Al-Qur’an. Bukan cuma sampai di situ, ia juga ingin mengubah teks-teks Al-Qur’an berbahasa Arab. Sayangnya usaha tersebut gagal total karena karya Flugel tidak diterima oleh umat Islam di manapun. 
Adalah sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin untuk membaca Al-Qur’an menurut gaya bacaan salah satu dari tujuh pakar bacaan yang terkenal, yang semuanya mengikuti kerangka tulisan `Uthmani dan sunnah dalam bacaannya (qira’ah). Perbedaan-perbedaan yang ada, kebanyakan berkisar pada beberapa tanda bacaan diakritikal yang tidak berpengaruh sama sekali terhadap isi kandungan ayat-ayat itu. Setiap mushaf yang dicetak berpijak pada salah satu dari Tujuh Qira’at, yang diikuti secara seragam sejak awal hingga akhir. Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh sistem bacaan dan memilih satu qira’ah di sana sini dengan tidak menentu (tanpa alasan yang benar) yang hanya menghasilkan sebuah bacaan yang tidak karuan.
Bahkan Jeffery, yang dikenal sangat memusuhi Islam, bersikap sinis terhadap karya Flugel itu. Ia mengatakan, “Edisi Flugel yang penggunaannya begitu meluas dan berulang kali dicetak, tak ubahnya sebuah teks yang sangat amburadul, karena tidak mewakili baik tradisi teks ketimuran yang murni mau pun teks dari berbagai sumber yang ia cetak, serta tidak memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.”
Selain ingin merusak dari segi bacaan, para orientalis juga merusak isi Al-Qur’an. Adalah Regis Blachere yang membuat terjemahan dalam bahasa Prancis (Le Coran, 1949, ) bukan saja mengubah urutan surat, tapi juga menambahkan dua ayat fiktif ke dalam Al-Qur’an. Dia berpijak pada cerita palsu di mana, katanya, Setan yang memberi “wahyu” kepada Nabi Muhammad yang tampaknya tidak dapat membedakan antara Kalam Allah dan ucapan mantra-mantra orang kafir sebagaimana tercatat dalam cerita itu.
Terhadap hal ini Dr. Azami menjawab bahwa tak satu pun periwayatan transmisi bacaan dan 250,000 manuskrip Al-Qur’an yang sampai sekarang masih ada, terdapat dua ayat yang isinya bertentangan dengan Al-Qur’an. Kaum muslim pun akan mudah mengetahui jika ada ayat-ayat yang disisipkan dalam Al-Qur’an.
Selain kedua orientalis tersebuut, Prof. Rev. Mingana, yang dianggap sebagai ilmu¬wan dalam bahasa Arab, juga melakukan hal yang sama terhadap Al-Qur’an. Ia sengaja menghapus sebuah manuskrip kemudian menuliskannya kembali.














BAB III
KESIMPULAN

Bisa jadi motivasi awal orang Barat(orientalis) mempelajari Islam bukan untuk menyerang Islam. Awalnya, mungkin mereka benar-benar mempelajari Islam sebagai suatu ilmu. Namun dalam perjalanannya, mereka tetap saja membawa bau sentimen Barat (Kristen) terhadap Islam yang mereka anggap musuh bebuyutan.
Akibatnya, jadilah kajian-kajian orientalisme sebagai kajian yang syubhat sehingga menimbulkan keragu-raguan di kalangan kaum muslimin terhadap ajaran Islam. Diantara yang menjadi sasaran serangan mereka adalah Al-Qur’an.
Al-Qur’an dijadikan target utama serangan missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen setelah gagal menjatuhkan pribadi Rasulullah. Meski mereka berkali-kali mencemooh dan memberi gambaran yang negative tentang Rasulullah, seperti homosex, orang gila, tetap saja kaum muslimin tak tergoyahkan keimannya kepada beliau. 
Karenanya, kemudian dengan sekuat tenaga mereka mencoba menjatuhkan dan mengkorupsi Al-Qur’an dengan cara-cara yang tidak elegan. Mereka melakukan kebohongan-kebohongan yang kemudian dibongkar oleh para sarjana muslim seperti Prof. MM. Azami, DR. Mustofa As-Siba’i dan DR. Syamsuddin Arif, maupun oleh kalangan orietalis sendiri.
Sebut saja orientalis bernama Juynboll yang secara mendasar telah mengkritik Wansbrough karena terlalu selektif dalam memilih sumber-sumber rujukan yang sesuai dengan pra-anggapan penelitiannya. Wansbrough berpendapat, bahwa tidak ada teks Al-Quran yang fixed sebelum akhir abad ke-2 Hijriah atau awal abad ke-3 Hijriah.
Tetapi, Juynboll membuktikan, bahwa Wansbrough berlaku curang karena tidak memasukkan literatur Islam sebelum abad ke-2 yang dapat menggoyahkan teorinya, seperti Kitab Al- ’Alim wa al-Muta’allim and Risala ila Utsman al-Baitti yang keduanya ditulis oleh Abu Hanifah (150 H.).
Estelle Whellan juga telah meruntuhkan kesimpulan Wansbrough, dengan membuktikan bahwa teks Al Quran telah menjadi teks yang tetap pada abad pertama Hijrah.
 Para orientalis berhati busuk itu tidak menyadari bahwa usaha-usaha tersebut sebenarnya hanya menunjukkan hatred (kebusukan-hati) dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji, sebagaimana disitir oleh seorang pengamat; “The studies carried out in the West … have demonstrated only one thing : the anti-Muslim prejudice of their authors.” 
Para orientalis yang bersemangat ingin “mengkorupsi” keotentikan Al-Quran, tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Quran tidak sama dengan Bibel;. Mereka seakan tidak mau tahu dengan kajian yang dilakukan oleh para ulama Islam yang tentunya lebih mengetahui Islam daripada mereka. Mereka seakan sengaja ingin menyakiti kaum muslimin dengan mengotak-atik keimanan yang sudah mendarah daging dalam diri setiap muslimin.
Sikap tidak peduli terhadap orang lain ini memang pada dasarnya sudah menjadi karakter para orientalis dalam melakukan berbagai studi tentang Islam. Misalkan, beberapa tahun yang silam Profesor C.E Bosworth, salah seorang editor ensiklopedi Islam yang diterbitkan oleh J. Brill, menyampaikan kuliah di Universitas Colorado. Ketika ditanya mengapa para intelektual Muslim yang mendapat pendidikan di Barat tidak pernah diikutsertakan kontribusinya pada ensiklopedi yang menyangkut berbagai masalah mendasar (seperti Al-Qur’an, hadith, jihad, dll.), dia menjawab bahwa karya ini ditulis oleh para penulis Barat untuk orang Barat. 
Jawaban ini kendati ada benarnya, dalam prakteknya karya tersebut tidak semata-mata untuk kalangan masyarakat Eropa. Ia juga diterjemahkan ke dalam bahasa dunia Islam. Bahkan proyek ini sengaja meraka lakukan dengan biaya yang tidak sedikit. Biaya tersebut sengaja mereka persiapkan agar karya-karya mereka juga dibaca oleh kaum muslimin. Akibatnya, umat Islam yang tidak memahami misi dibalik itu semua ikut terpengaruh. Ironisnya lagi, ada yang sengaja mengambil proyek tersebut demi kepentingan ekonomi. Sebuah sikap yang tak pantas dilakukan oleh seorang muslim.
Untuk itu patut dicatat apa yang ditulis oleh Edward Said dalam karya ilmiahnya yang berjudul Orientalism. Edward Said mengutip perkataan Karl Max yang berbunyi: “Mereka tidak dapat mewakili diri sendiri melainkan mereka harus diwakili.”
 Begitulah cara orientalis melakukan serangan terhadap Islam. Sayangnya, beberapa sarjana muslim ternyata juga mengikuti langkah-langkah mereka. Entah mereka sadar atau tidak, kajian-kajian yang mereka adopsi dari para orientalis itu sejatinya merugikan Islam dan kaum muslimin. Tidak sepantasnya, orang yang mengaku beriman kepada Al-Qur’an tapi masih ragu dengan isinya, sebagaimana keraguan para orientalis.
Al-Qur’an merupakan kitab yang paling lengkap dan sempurna. Tidak diperlukan lagi bagi manusia untuk mencari sesuatu selainnya. Ia memuat segala bentuk aspek kehidupan. Berisi banyak nubuatan (ramalan) mengenai masa depan manusia dan juga merupakan suatu peraturan yang lengkap bagi tingkah laku manusia.
Ia merupakan kitab unik yang diturunkan oleh Pencipta Alam, yang berisi pesan yang abadi dan universal. Muatannya tidak terbatas pada tema atau kajian tertentu, tetapi berisi keseluruhan sistem hidup. Mencakup spektrum permasalahan yang utuh, yang dimulai dari perintah dan larangan, hak dan kewajiban, kejahatan dan hukuman, ajaran tentang masalah pribadi dan sosial dan lain-lain. Cara Al-Qur’an mengungkapkan isinya juga bervariasi, seperti melalui sindirian, peringatan, teguran secara langsung dan tegas, atau melalui kisah umat masa lampau agar menjadi pelajaran bagi umat berikutnya. 
Petunjuk di dalamnya pun tidak hanya terbatas untuk umat Islam semata, namun orang-orang non Islam pun juga menjadi obyek seruan ajarannya. Sehingga, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika dari awal mula turunnya hingga kini, ghiroh manusia tidak pernah surut untuk mengkaji isi kandungan Al-Qur’an, baik dari kalangan umat Islam sendiri maupun dari orang-orang orientalis. 
Selain sebagai kitab wahyu dan manifestasi kekuatan mukjizat Nabi SAW, Al-Qur’an juga berperan lebih besar dan lebih penting ketimbang peran tongkat Nabi Musa as dan nafas Nabi Isa as.
Rasulullah SAW senang dan suka membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada orang-orang. Kekuatan magnetis ayatnya, dalam banyak kesempatan, mendorong banyak orang masuk Islam. Dalam sejarah Islam, peristiwa-peristiwa seperti ini tak terhitung jumlahnya.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang memiliki karakteristik bahasa yang sangat bermutu. Sejak diturunkannya sampai sekarang, tidak ada perubahan dalam bahasa tersebut. Ini berbeda dengan bahasa kitab suci lainnya. Bahasa Aramiah misalnya, sebagai bahasa asli Injil, sudah mengalami perubahan, bahkan sulit ditemukan. 
Kita tidak selayaknya mudah terperanjat dan terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran orientalis. Seorang muslim yang membaca buku-buku karya orientalis hendaknya mempunyai pengetahuan yang benar dan cukup tentang Islam yang sebenarnya sehingga tidak terjebak pada ide-ide kaum kuffar yang menipu. Bagaimana pun juga, Allah akan terus membangkitkan ulama untuk membantah pemikiran-pemikiran mereka.
Kita juga sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW untuk bersikap kritis terhadap sumber-sumber dari kaum Yahudi dan Kristen. Kita tidak boleh menolak atau menerima begitu saja. Perlu ada cek dan ricek agar tidak keliru.
Bukti-bukti kekeliruan orientalis dalam melakukan studi Islam sudah banyak ditunjukkan oleh para cendekiawan Muslim atau oleh para orientalis sendiri. Kaum Muslim juga maklum, bahwa tidak semua hasil studi mereka ditolak begitu saja. Ada yang bermanfaat untuk kaum Muslim. Tetapi, memuji dan mengikuti mereka tanpa ilmu pengetahuan yang memadai adalah sikap naif yang tidak perlu dilakukan.
Kita hendaknya tetap kritis terhadap mereka. Jangan hanya kritis terhadap para ulama, tapi tidak kritis terhadap mereka. Jangan hanya karena ingin sesuatu yang sifatnya dunia, kemudian sampai menggadaikan sesuatu yang berharga dari Islam ini.




Selasa, 23 Juni 2009

WIRANTO: Debat Boediono Tentang Hubungan Agama-Politik


Walau belum terasa "panas", debat antar cawapres sudah mulai interaktif. Cawapres dengan nomor urut tiga, Wiranto menjadi kontestan pertama yang mengkritik secara langsung kandidat lainnya. Tanpa malu-malu, mantan Panglima TNI ini menilai gagasan cawapres Boediono membingungkan.

"Saya tidak sependapat dengan apa yang disampaikan Pak Boediono apa yang disampaikan masih bersifat normatif dan nilai pratiksnya membingungkan," ujar Wiranto di acara debat cawapres di studi SCTV, Senayan City, jakarta Selatan, Selasa (23/6/2009).

Tanggapan itu dilontarkan Wiranto usai Boediono menyampaikan pemikirannya soal posisi agama dengan politik. Boediono berpendapat agama tidak boleh menjadi unsur dalam politik praktis.

"Agama itu mulia dan tidak boleh dijadikan elemen praktis, harus di atas politik praktis. Negara dalam hal ini bertanggungjawab untuk memberikan peluang untuk melindungi warga negaranya. Negara harus mengambil posisi menjaga keharmonisan," kata Boediono.

Menurut Wiranto, gagasan Boediono tentang posisi agama dengan negara masih belum konkret untuk diterapkan. Wiranto menilai, substansi agama malah harus dijadikan spirit untuk membangun kehidupan politik.

"Nilai substantif agama, menurut saya bisa diambil untuk membangun etika politik. Jangan sampai di politik hanya BTN, bohong tega dan nipu. Nilai-nilai agama harus ada di dalamnya," jelas Wiranto.

Mendengar kritikan Wiranto, Boediono yang mengenakan batik bermotif biru muda ini langsung menebar senyum penuh isi. Mantan Gubernur BI ini merasa harus mengklarifikasi kembali apa yang dikritik Wiranto.

"Saya kira kita melihat ada perbedaan antara kata dan perbuatan. Kalau kita jujur pada diri sendiri kita sudah aman dan damai tidak perlu banyak berdebat," balas Boediono.




Senin, 22 Juni 2009

THE TRUE POWER OF WATER


A. PENDAHULUAN
Buku ini bukan lagi buku yang baru didengar judulnya. Ya, buku yang ditulis Masaru Emoto berjudul “The True Power of Water” yang diterbitkan oleh MQ Publishing, memuat hasil penelitian Masaru tentang kehidupan unik air, pengaruh diri kita masing-masing terhadap air, dan apa yang terjadi terhadap air atas interaksi kita padanya. Di dalamnya terdapat beberapa sample air dari berbagai lokasi (seperti : air keran di Sendai-Miyagi, air keran di Shinagawa-Tokyo, air keran di Katano-Osaka, air keran di Kanazawa-Ishikawa), dan masing-masing diperlihatkan (dalam bentuk gambar) kristal yang terbentuk. Kristal-kristal yang terbentuk memiliki bentuk masing-masing, dari yang tidak jelas membentuk kristal sampai membentuk kristal yang sangat indah. Sekilas tentang pengambilan gambar kristal air:pengambilan kristal air, ketika kristal mulai muncul setelah pembekuan air dengan suhu -15 derajat C (5 derajat F), dan kemudian kristal menghilang dalam 20-30 detik.
Percobaan dilakukan dengan memberi label (tulisan dengan kata-kata positif : seperti “arigato” dan negatif : seperti “kamu bodoh”) ke wadah kedua sample (yang berasal dari sumber air yang sama). Hasil yang diperlihatkan adalah air dalam wadah yang diberi label dengan kata positif memberikan bentuk kristal yang lebih indah daripada air dalam wadah yang diberi label dengan kata negatif.
Selain itu, dalam buku ini juga diperlihatkan percobaan dengan menggunakan nasi yang ditempatkan pada dua wadah identik dan masing-masing diberikan label dengan kata-kata yang positif dan negatif. Dengan seorang teman se-kosan (Mb Tina), saya mencoba-nya. Saya siapkan dua gelas kaca, dua karet, dan dua helai tisu, dan sebungkus nasi. Lalu, ke masing-masing gelas, ditaruh beberapa sendok nasi, kemudian gelas ditutup dengan tisu dan diberi karet. Pada gelas A, diberi tulisan “Kamu Bodoh” dan pada gelas B, diberi tulisan “Terima Kasih”. Kedua gelas, diletakkan di dapur. Beberapa hari kemudian, tampak jamur tumbuh di kedua gelas. Tetapi, pada gelas A, jamur yang tumbuh, berwarna hitam, sedangkan pada gelas B jamur yang tumbuh berwarna putih yang lama-kelamaan berwarna kuning. Saat itu, saya dan teman saya begitu surprise melihat kejadian itu. Menurut pendapat saya, hal itu disebabkan adanya pancaran energi dari orang (saya) yang melihat ke kedua gelas. Mungkin secara teori, saya mengetahui bahwa gelas A akan memberikan hasil yang jelek, nah pada saat melihat gelas ini, pancaran energi saya adalah energi negatif (karena secara tidak langsung, saya berharap bahwa gelas inilah yang akan menghasilkan hasil yang jelek), pun sebaliknya. Hmmm…mungkin saya perlu mencobanya kepada orang lain yang belum mengetahui percobaan ini sebelumnya, sehingga bisa lebih alami.
Yang saya tangkap dari buku ini adalah, bahwa pikiran positif akan berdampak positif pula, dan sebaliknya pikiran negatif akan membuat hidup kita terasa berat. Bagi saya, hal ini membuat saya lebih semangat untuk memperbaikki diri dan berpikiran positif atas apa yang saya alami, saya yakin ada hikmah di balik segala kejadian. Yang penting sabar, lakukan yang baik dan tinggalkan yang buruk.
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat; sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” Q.S Al Baqarah : 153
“…Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. …” Q.S Al Baqarah : 233
B. RUMUSAN MASALAH
Dari buku yang kami review ini, kami dapat merumuskan permasalahan pokok yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu:
1. Seberapa seriuskah anda memperhatikan karateriktis air?
2. Apakah anda menyadari bahwa air yang anda minum mampu meningkatkan kualitas kesehatan dan hidup anda?
3. Apakah anda tahu bahwa kesadaran anda mampu mengubah air?
C. LANDASAN TEORI
“Dan Kami ciptakan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al Anbiya : 30).
Dalam kitab-kitab tafsir klasik, ayat tadi diartikan bahwa tanpa air semua akan mati kehausan. Tetapi di Jepang, Dr. Masaru Emoto dari Universitas Yokohama dengan tekun melakukan penelitian tentang perilaku air.
Air murni dari mata air di Pulau Honshu dido’akan secara agama Shinto, lalu didinginkan sampai -5 derajat C di laboratorium, lantas difoto dengan mikroskop elektron dengan kamera kecepatan tinggi. Ternyata molekul air membentuk kristal segi enam yang indah.
Percobaan diulangi dengan membacakan kata, “Arigato (terima kasih dalam bahasa Jepang)” di depan botol air tadi. Kristal kembali membentuk sangat indah. Lalu dicoba dengan menghadapkan tulisan huruf Jepang, “Arigato”. Kristal membentuk dengan keindahan yang sama. Selanjutnya ditunjukkan kata “setan”, kristal berbentuk buruk. Diputarkan musik Symphony Mozart, kristal muncul berbentuk bunga. Ketika musik heavy metal diperdengarkan, kristal hancur.
Ketika 500 orang berkonsentrasi memusatkan pesan “peace” di depan sebotol air, kristal air tadi mengembang bercabang-cabang dengan indahnya. Dan ketika dicoba dibacakan do’a Islam, kristal bersegi enam dengan lima cabang daun muncul berkilauan. Subhanallah.
Dr. Emoto akhirnya berkeliling dunia melakukan percobaan dengan air di Swiss, Berlin, Prancis, Palestina, dan ia kemudian diundang ke Markas Besar PBB di New York untuk mempresentasikan temuannya pada bulan Maret 2005 lalu.
Ternyata air bisa “mendengar” kata-kata, bisa “membaca” tulisan, dan bisa “mengerti” pesan. Dalam bukunya The Hidden Message in Water, Dr. Masaru Emoto menguraikan bahwa air bersifat bisa merekam pesan, seperti pita magnetik atau compact disk.
Semakin kuat konsentrasi pemberi pesan, semakin dalam pesan tercetak di air. Air bisa mentransfer pesan tadi melalui molekul air yang lain. Barangkali temuan ini bisa menjelaskan, kenapa air putih yang dido’akan bisa menyembuhkan si sakit.
Dulu, hal tersebut kita anggap musyrik, atau paling sedikit kita anggap sekadar sugesti, tetapi ternyata molekul air itu menangkap pesan do’a kesembuhan, menyimpannya, lalu vibrasinya merambat kepada molekul air lain yang ada di tubuh si sakit.
Tubuh manusia memang 75% terdiri atas air. Otak 74,5% air. Darah 82% air. Tulang yang keras pun mengandung 22% air. Air putih galon di rumah, bisa setiap hari dido’akan dengan khusyu kepada Allah, agar anak yang meminumnya shaleh, sehat, dan cerdas, dan agar suami yang meminum tetap setia. Air tadi akan berproses di tubuh meneruskan pesan kepada air di otak dan pembuluh darah.
Dengan izin Allah, pesan tadi akan dilaksanakan tubuh tanpa kita sadari. Bila air minum di suatu kota dido’akan dengan serius untuk keshalehan, insya Allah semua penduduk yang meminumnya akan menjadi baik dan tidak beringas.
Rasulullah SAW bersabda, “Zamzam lima syuriba lahu”, “Air zamzam akan melaksanakan pesan dan niat yang meminumnya.” Barangsiapa minum supaya kenyang, dia akan kenyang. Barangsiapa minum untuk menyembuhkan sakit, dia akan sembuh.
Subhanallah… Pantaslah air zamzam begitu berkhasiat, karena dia menyimpan pesan do’a jutaan manusia selama ribuan tahun sejak Nabi Ibrahim AS.
Bila kita renungkan berpuluh ayat Al-Qur’an tentang air, kita akan tersentak bahwa Allah rupanya selalu menarik perhatian kita kepada air. Bahwa air tidak sekadar benda mati. Dia menyimpan kekuatan, daya rekam, daya penyembuh, dan sifat-sifat aneh lagi yang menunggu disingkap manusia. Islam adalah agama yang paling melekat dengan air.
Shalat wajib perlu air wudhu 5 kali sehari. Habis bercampur, suami istri wajib mandi. Mati pun wajib dimandikan. Tidak ada agama lain yang menyuruh memandikan jenazah, malahan ada yang dibakar.
Tetapi kita belum melakukan dzikir air. Kita masih perlakukan air tanpa respek. Kita buang secara mubazir, bahkan kita cemari. Astaghfirullah.
D. LAPORAN HASIL PENELITIAN
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Masaru Emoto terhadap air membawa suatu pengetahuan yang dapat merasionalkan anggapan-anggapan yang tadinya hanya dapat dikenal melalui sisi spiritual. Masaru Emoto dan timnya melakukan penelitian bentuk unsur-unsur terkecil air jika dilihat secara detail dengan mikroskop. Hasilnya menunjukkan bahwa air memiliki aneka ragam bentuk. Ada yang acak, ada yang tampak biasa, dan ada yang berbentuk kristal. Kristal yang terbentuk pun bermacam-macam pula.
Percobaan dilanjutkan dengan memberikan perilaku-perilaku yang berbeda terhadap air yang sama. Air yang ditempatkan di gelas dan diberi label "Cinta" akan memberikan bentuk yang berbeda dengan air yang ditempatkan di gelas berlabel "Bodoh". Air yang berlabel "Cinta" akan membentuk kristal yang indah. Sementara air yang lain tidak akan membentuk kristal. Bahkan tidak memiliki bentuk sama sekali alias berantakan. Percobaan tidak hanya dengan kata-kata itu. Kata-kata lain pun dicoba dan memberikan hasil yang serupa. Kata-kata yang baik akan mempengaruhi pola air dalam membentuk kristal. Sementara kata-kata yang tidak baik akan merusak bentuk air.
Selain kata, obyek yang diuji cobakan adalah lagu. Air yang diletakkan dalam ruangan yang diiringi musik classic akan jauh berbeda bentuknya dengan air yang diletakkan dalam ruangan yang dipenuhi nuansa metal dengan lirik-lirik yang keras. Dari percobaan-percobaan ini dapat disimpulkan bahwa air ternyata dapat 'berinteraksi' dengan lingkungan sekitarnya.
Dulu, sewaktu kecil, saya pernah dinasihati oleh orang-orang tua, bahwa sebelum makan, hendaknya kita berdoa dulu supaya makanan kita tidak diambil oleh setan. Pada saat itu, saya tentu saja tidak dapat membantah karena takut makanan saya diambil setan. Seiring perkembangan akal, akhirnya saya mengetahui bahwa dari sisi spiritual hal tersebut memang dianjurkan. Senantiasa berdoa sebelum melakukan sesuatu supaya mendapat kemudahan dari-Nya.
Majunya teknologi akhirnya dapat menjelaskan secara logis mengapa hal-hal tersebut dianjurkan. Kita, manusia, terdiri dari sebagian besar air. Sesuai percobaan-percobaan di atas, kondisi sekitar kita tentu akan mempengaruhi air-air yang menyusun tubuh kita. Respon air pun akan merepresentasikan ke dalam perasaan kita.
Mungkinkah ketika kita mengumpat akan merasakan kedamaian? Umpatan-umpatan yang kita lontarkan akan mempengaruhi air di tubuh kita. Air akan memberikan respon negatif dan meneruskan ke dalam jiwa kita. Aura negatif tersebut lah yang akan kita rasakan. Sebaliknya, jika kita sedang melantunkan ayat-ayat suci Al Quran yang penuh dengan kalimat-kalimat indah, mungkin kah kita merasakan kegelisahan? Mungkin saja, jika apa yang kita pikirkan lebih kuat dari yang kita lantunkan. Maka perasaan pun akan terpengaruh dengan apa yang kita pikirkan, bukan kita lantunkan.
Penelitian-penelitian itu tidak hanya membuktikan bahwa air dapat menyentuh perasaan saja. Unsur air dalam tubuh kita ternyata juga dapat memberikan respon yang bagus untuk kesehatan. Dengan menggunakan prinsip air yang 'berakal', muncullah sebuah alternatif pengobatan dalam dunia kesehatan.
E. KESIMPULAN
Siapa sangka air itu hidup. Air mampu merespon ataupun menyampaikan informasi yang disampaikan kepadanya. Bila informasi yang sampaikan padanya buruk, maka kualitasnya akan menjadi buruk, namun bila informasi yang disampaikan baik, maka kualitasnya pun akan menjadi baik.
Fenomena ini telah diteliti selama bertahun-tahun oleh Masaru Emoto bersama seorang rekannya Kazuya Ishibashi, peneliti terkenal dari Jepang. Dalam bukunya The True Power of Water, Emoto telah meneliti dan menemukan berbagai bentuk kristal dari berbagai macam air. Dengan gambar-gambar kristal air yang berhasil didapatkannya, Emoto mencoba menjelaskan apa yang terjadi pada air bila diberikan suatu informasi.
Dari percobaannya, Emoto mendapatkan, bahwa bila kepada air diberikan respon positif, seperti kata “terima kasih”, “bagus sekali”, “kebahagiaan”, “cinta dan terima kasih”, maka kristal yang dibentuk oleh air tersebut akan indah dan sempurna. Namun bila diberikan respon negatif seperti, “kamu bohoh”, “tidak berguna”, “penderitan”, maka air sulit sekali untuk membentuk kristal, bahkan bentuk yang didapatkan jauh dari bentuk kristal. Emoto juga membuktikan bahwa respon yang jelek pun lebih daripada tak diberikan respon sama sekali. Dia menyimpulkan memberikan perhatian, meskipun itu jelek, adalah lebih baik daripada dibiarkan begitu saja tanpa perhatian sama sekali.
Air juga mampu mengubah dirinya menjadi lebih baik, bila diberikan respon positif, baik melalui gambar, tulisan, maupun suara dan kata-kata. Air yang sebelumnya diberikan respon negatif dan mempunyai bentuk kristal yang jelek, dapat berubah setelah diberikan respon posif, sehingga kristalnya menjadi lebih baik.
Pada bulan Juli 1999, di Jepang, do’a-do’a (yang dikenal dengan Pengakuan Agung) yang dilakukan oleh sekitar 350 orang, telah berhasil mengembalikan kualitas air Danau Biwa, danau terbesar di Jepang. Dalam jangka waktu satu bulan saja, danau yang tercemar oleh alga asing dari Kanada, yang memberikan bau tak sedap sudah mulai hilang. Dan Enam bulan kemudian, Emoto berhasil membuktikan bahwa kristal air Danau Biwa yang semula tak berbentuk, sudah berubah membentuk kristal yang cukup bagus.
Tak dapat kita pungkiri, air adalah sumber kehidupan. Tubuh kita 70% adalah air. Jelaslah air ini juga akan mempengaruhi mood kita. Bila kita diberi respon positif, air yang ada dalam tubuh kita akan menangkap energi tersebut, sehingga kita akan merasakan hal yang lebih baik. Jadi tak heran bila kita sangat mudah terpengaruh oleh respon yang datang pada kita. Maha suci Allah yang telah menciptakan air dengan segala misteri di dalamnya. Dengan air kehidupan ini terus berdenyut. Namun apa yang terjadi bila air sudah terkotori oleh tingkah polah kita sendiri. Bayangkanlah apa yang akan terjadi di bumi ini.?
Buku yang bagus…membuka cakrawala berpikir kita tentang air. Buku ini memberikan percerahan pada kita, bagaimana pentingnya menghargai air, dan bagaimana pentingnya untuk hidup sehat dan bahagia.

Pilpres satu putaran, why not?


Dua minggu terahir ini berebar berita dari kubu incumbent tentang pilpres 2009 dalam satu putaran sehingga menimbulkan banyak tanggapan dari  para kompetitornya. Dan inilah tanggapan para pengamat tentang hal tersebut dalam beberapa media massa:

1.      http://public.kompasiana.com/2009/06/18/ Pemilu Tidak Satu Kali Putaran , Tetapi Satu Kali Contreng Ketika melihat Iklan pemilu satu kali putaran , rasanya ada hal yang sangat aneh , terlalu cepat salah satu pasangan mengklaim bahwa pemilu satu kali putaran , padahal pemilu presiden belumlah dilaksanakan , Meminjam istilah SBY , itu namanya “NGGEGE MANGSA” (terburu-buru), Ini adalah istilah jawa yang sangat dipahami SBY , tapi tampaknya sangat tidak dipahami tim suksesnya (kok bisa ya..). Sebagai pemimpin kabinet seorang presiden dituntut agar bisa mengendalikan Tim Menterinya agar bila ada yang ‘nakal’ bisa segera ‘dijewer’ , namun dalam hal ini ternyata ada prinsip dasar seorang capres  yang tidak bisa ditransfer dan dilakukan oleh tim suksesnya, ada apakah gerangan?

Ada keanehan tambahan tentang Pilpres kali ini, begitu getolnya salah satu pasangan mengkampanyekan pemilu satu putaran, yang mana tidak pernah disosialisasikan KPU seperti itu, KPU hanya menyosialisasikan pemilu SATU KALI CONTRENG , tidak satu kali putaran.

untung sebagai orang desa tidak banyak yang baca koran, jadi wacana pemilu satu kali putaran yang menghambur-hamburkan uang di koran itu tidak begitu mengusik orang desa, namun bila ada tim sukses pasangan di daerah sulawesi yang akan mengkampanyekan pemilu satu putaran , rasanya isu “nggege mangsa” akan terus menerus digulirkan tim sukses pasangan tersebut , pertanyaannya sampai kapan seorang capres  tidak bisa mengarahkan tim suksesnya untuk tidak “nggege mangsa” ? Ataukah ini yang disebut “Neo Nggege Mangsa” ?

2.      http://pemilu.okezone.com/read/2009/06/22/ Golput Naik, Pilpres Tak Mungkin Satu Putaran Wacana Pilpres 2009 dalam satu putaran dinilai tidak masuk akal karena tingkat golput yang mencapai 33 persen. Selain itu, kekuatan massa fanatik masing-masing capres juga sama kuat.

"Trend golput tahun 2009 meningkat dibanding sebelumnya. Tidak mungkin pilpres satu putaran," ujar pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens dalam pemaparan hasil survei Indonesia Development Monitoring (IDM) di Hotel Le Meridien, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Senin (22/6/2009).

Jumlah pemilih fanatik PDIP dan Partai Gerindra diperkirakan mencapai 27 persen, hampir sama dengan kekuatan massa fanatik Jusuf Kalla-Wiranto.

"Itu berarti sisanya suara SBY, tapi tidak mungkin satu putaran," imbuhnya.

Selain faktor golput, kemungkinan pilpres satu putaran juga sangat kecil mengingat tingkat polpularitas SBY yang semakin turun. Hal itu antara lain dikarenakan, masyarakat di kelas bawah sudah memahami isu neolib yang melekat pada Boediono.

"SBY juga terlalu reaktif menanggapi isu-isu saat ini," paparnya. (lam)

3.      http://pemilu.detiknews.com/read/2009/06/16/ Tim SBY Bantah Ingin Pilpres 1 Putaran Karena Takut BBM Naik dan Ramadan Isu yang menyatakan SBY ingin menang satu putaran karena takut menghadapi bulan Ramadan dan naiknya harga BBM pada September-Oktober akibat kenaikan harga minyak dunia dibantah keras oleh tim kampanyenya. Tudingan itu dinilai disampaikan oleh kompetitornya yang tidak ingin melihat SBY menang satu putaran.

"Semuanya kepingin satu putaran. Masak maunya 2 putaran. Semuanya kepingin satu putaran dan menjadi pemenangnya. Bukan hanya SBY, tapi semuanya. Jadi nggak ada itu (takut Ramadan dan kenaikan harga BBM)," kata Wakil ketua DPP PD Ahmad Mubarok kepada detikcom, Selasa (16/6/2009).

Menurut Mubarok, isu-isu seperti itu sengaja dihembuskan oleh para kompetitor SBY guna mempengaruhi opini publik. Namun tim SBY yakin rakyat tidak akan terpengaruh dengan semua itu karena memang isu yang dilempar tidak berdasar.

"Itu kan hasil orang menganalisa. Paling isu dari kompetitor. Kalau (harga BBM) memang naik, yang rugi bukan SBY, tapi bangsa dan negara termasuk rakyat," paparnya.

Saat ditanya apakah SBY siap juga bila harus menghadapi 2 putaran, Mubarok menjawab, "Kita siap kalau pun 2 putaran. Ini bukan karena ketakutan. Tapi kita ingin satu putaran karena lebih efektif dan efisien dana negara. Masyarakat lelah pilkada terus menerus."

Sebelumnya diberitakan, opini pemilihan presiden (pilpres) satu putaran atau dua putaran terus dihembuskan ke publik oleh tim kampanye tiga capres-cawapres. Tim kampanye SBY-Boediono terus terang ingin satu putaran, ingin menang sebelum bulan Agustus.

Paparan sejumlah lembaga survei yang memenangkan SBY-Boediono jauh di atas 50% menguntungkan SBY. Isu pilpres satu putaran yang bisa menghemat Rp 4 triliun dibandingkan dua putaran yang terus digembor-gemborkan juga menguntungkan SBY.

Selain alasan soal hemat biaya Rp 4 triliun, keharusan bagi SBY-Boediono untuk menang dalam satu putaran juga karena ada momentum yang dihindari: bulan Ramadan yang jatuh pada pertengahan Agustus dan bulan September yang diperkirakan pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM, akibat tingginya harga minyak dunia.( yid / nrl )

4.  http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_berita_mutakhir/2009/06/22/Pengamat: Pemilihan Presiden Satu Putaran Tidak Realistis. TEMPO Interaktif, Yogyakarta: Berharap pemilihan presiden 2009 ini akan berlangsung dalam satu putaran adalah sesuatu yang tidak reaslistis. Sebab, belakangan ini muncul gejala penguatan calon-calon lain yang mampu menyangi kekuatan pasangan SBY-Boediono.

“Pasangan JK-Wiranto cukup cerdik mengelola isu. Sangat mungkin akan meningkatkan elektabilitas dia. Sebaliknya, SBY cenderung merengek-rengek di media massa dan cenderung menganggap rakyat itu sebagai tempat curhat,” ujar pengamat politik UGM, Abdul Gaffar Karim, kepada wartawan disela-sela acara pelepasan mahasiswa KKN Pemantau Pemilihan Presiden di Balairung Kampus Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Senin (22/6).

Kejelian Jusuf Kalla dalam mengelola isu, lanjutnya, telah memberikan kemungkinan berpindahnya sebagian dukungan yang semula untuk SBY-Boediono ke pasangan JK-Wiranto. Di sisi lain, Megawati juga punya pemilih loyal. Terlepas dari isu apapun, mereka akan tetap memilih Megawati

“Dengan demikian terjadi penyebaran kekuatan yang berimbang dan makin memperkecil kemungkinan adanya Pilpres satu kali putaran,” tegasnya.

Menurut Abdul Gaffar Karim, kenaikan dukungan untuk pasangan JK-Wiranto ini karena Kalla mampu mengelola isu dengan sangat baik. Kalla, katanya, mampu membuat ekspresi publik yang bagus dan mampu menjaring dukungan dari berbagai kalangan di Indonesia. Kalla bisa mengekspresikan isu kesejahteraan, juga soal pertanian dan kemandirian. “Dan terutama dia secara psikologis mampu memberi jawaban persoalan-persoalan bangsa disaat SBY justru tidak mampu melakukannya,” katanya.

Menurut Abdul Gaffar Karim, yang akan maju pada pilpres putaran kedua nanti adalah pasangan SBY-Boediono dan JK-Wiranto. Namun, Abdul Gaffar Karim juga tidak ingin menyepelekan kekuatan pasangan Mega-Prabowo.

“Meskipun Mega selalu kita tuduh tidak mampu merumuskan isu dengan baik, akan tetapi ada pemilih tradisional PNI, nasionalis radikal yang tetap akan ke Mega, sehingga meskipun Mega tidak besar, tidak akan mampu memenangkan pemilu putaran pertama sekalipun, tapi dia akan mampu menggerogoti kekuatan SBY-Boediono dan JK-Wiranto sehingga tidak mungkin pemilu satu putaran,” paparnya.

Siapa yang bakal muncul sebagai pemenang dalam pemilihan presiden putaran kedua nanti, Abdul Gaffar Karim, tidak berani memastikannya. “Harus kita lihat lagi konstalasinya pasca pilpres putaran pertama,” katanya.

Meski dukungan terhadap pasangan SBY-Boediono cenderung turun, menurut Abdul Gaffar Karim, masih ada peluang untuk memperbaikinya. “Itu tergantung pada pengelolaan isu selama beberapa minggu ke depan ini serta kemampuan mereka berekspresi dalam debat berikutnya,” katanya.

Selain soal pengelolaan isu, lanjutnya, juga tergantung pada kepintaran masing-masing pasangan dalam menggarap swing voters yang terdiri atas pemilih pemula dan pemilih perempuan. Menurut Abdul Gaffar Karim, biasanya swing voters ini baru akan menentukan pilihan pada satu atau dua hari menjelang pemilihan.

“Dan itu sangat ditentukan oleh kecerdikan siapa yang bisa menentukan isu pada hari itu atau membeli suara pada hari itu. Kan money politik dan serangan fajar itu selalu terjadi pada hari-hari terakhir,” ujarnya.

Diantara swing voters tersebut, menurut Abdul Gaffar Karim, yang sangat potesial bisa digarap oleh pasangan capres adalah pemilih pemula yang jumlahnya ada belasan persen. “Saya kira semua pasangan capres akan menggarapnya dengan operasi intelijen dan operasi uang. Ini yang perlu kita waspadai,” ujarnya. HERU CN

5.      http://forum.vivanews.com/showthread.php?p=306994 Isu BBM Naik, SBY Harus Menang Satu Putaran Tim Kampanye Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertekad memenangkan pasangan SBY-Boediono dalam satu putaran pilpres. Namun disinyalir ada alasan lain di balik wacana itu.

Menurut juru bicara Tim Sukses Jusuf Kalla-Wiranto, Indra J Piliang, rivalnya itu mengantisipasi rencana kenaikan harga minyak pada September 2009, bersamaan dengan jadwal pilpres putaran kedua, yang ditakutkan akan menurunkan popularitas SBY-Boediono.

"Perusahaan juga banyak yang mau PHK," ungkapnya usai diskusi bertajuk Good Governance dalam Visi Misi Capres-Cawapres 2009-2014 di Wisma Dharmala Sakti, Jakarta, Selasa (9/6/2009).

Seperti diketahui, hasil survei terakhir LSI pada 25-30 Mei lalu menunjukkan dari 2.999 responden, 71 persen suara memilih SBY-Boediono. Sementara di urutan kedua Mega-Prabowo memperoleh 16 persen, terakhir JK-Wiranto 8 persen.

Namun belakangan diketahui penelitian itu dibiayai oleh Fox Indonesia, salah satu tim sukses SBY-Boediono

Wah,ngeri banget nih BBM bisa naik lagi,makanya SBY_Budiono berusaha memenangkan pemilu dalam 1 putaran, BBM mau dinaikan lagi. Rakyat makin sengsara dong?pengangguran bisa bertambah, karena PHK bisa terjadi dimana-mana, ini merupakan dampak kenaikan BBM. Apa kita setju nih BBM naik Lagi?

6.      http://www.news.id.finroll.com/politik/ PEMILU - KAMPANYE "PILPRES SATU PUTARAN" DINILAI WAJAR Staf Ahli Menkominfo RI Bidang Media Massa, Henri Subiakto menilai, wacana pilpres satu putaran yang dimunculkan oleh lembaga survei dengan prediksi kemenangan bagi salah satu pasangan capres-cawapres tertentu, merupakan suatu bentuk kampanye yang wajar.

"Kalau ada lembaga survei yang memprediksi satu putaran putaran pada Pilpres nanti, itu sah-sah saja karena hal itu merupakan salah satu strategi kampanye tim sukses pasangan capres-cawapres tertentu untuk mempengaruhi pemilih melalui lembaga survei itu," kata Henri pada Forum Pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial Dalam Rangka "Voter Information" Pilpres 2009 di Kendari, Kamis.

Menurut Ketua Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA, di negara demokrasi, tidak ada pendapat yang salah. Oleh karena itu, kalau ada yang mangkampanyekan satu atau dua putaran Pilpres 2009, maka itu merupakan hak masyarakat.

"Membuat polling (jajak pendapat) ini tidak dilarang oleh undang-undang, tapi jangan memaksa dan memanipulasi fakta, sebab kalau hal itu dilakukan sama dengan melakukan pembohongan publik," ujarnya.

Dosen Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya itu mengatakan, isu yang dikembangkan oleh lembaga survei terhadap polling capres-cawapres, bisa saja benar atau meleset, dan hal itu sangat tergantung pada kualitas survei yang dilakukannya.

"Polling yang muncul dimuat media massa, bisa jadi benar atau salah, karena banyak lembaga survei melakukannya, tapi kredibilitasnya masih harus dipertanyakan. Di antaranya lembaga survei yang ada, hanya sebagian kecil yang sudah teruji kredibilitasnya," ujarnya.

Oleh karena itu, kata Henri, tidak mengherankan jika ada lembaga survei yang memunculkan hasil polling yang berbeda, bahkan perbedaan itu sangat ekstrim antara hasil lembaga survei yang satu dengan hasil lembaga survei yang lain.

Menurut dia, jika sebuah lembaga survei menunjukkan penyimpangan dari hasil pilpres, maka tentu lembaga survei akan jatuh kredibilitasnya dan tidak akan dipercaya lagi oleh publik.

Oleh karena itu, katanya, selain masyarakat bisa melihat rekam jejak lembaga survei yang sudah melakukan pembohongan publik, juga diharapkan media massa dapat mencatat lembaga survei itu agar tidak lagi dijadikan sumber informasi yang terpercaya.

"Kalau media massa masih menjadikan lembaga survei itu sebagai sumber informasi, kredibilitas media tersebut juga bisa buruk. Kalau ada polling survei yang berbohong, maka publik harus menghukumnya, jangan lagi dipercaya hasil survei itu," ujarnya.

Menyinggung Pilres 2009, Henri mengatakan, kondisi Pilres 2009 akan berbeda dengan pemilu legislatif yang lalu karena pilpres kali ini relatif sederhana dan aman dibanding pemilu legislatif yang lalu karena Pilpres yang hanya tiga pasangan capres-cawapres mempunyai pengaruh sedikit kepentingan dibanding dengan pemilu legislatif yang menampilkan banyak kontestan.

Menurut dia, sudah saatnya masyarakat selain memilih, juga harus berpartisipasi untuk mengawasi penyelenggaraan demokrasi, sehingga hasil Pemilu bisa berkualitas.

"Kalau ada partisipasi dan kepercayaan yang tinggi dari publik, maka tidak akan ditolak hasil pemilu ini, dan jauh dari anarkis karena masyarakat menjadi cinta dengan pemilu," ujarnya.

Henri mengatakan, pelaksanaan pemilu di Indonesia mulai dipuji dan Indonesia diperhitungkan di mata dunia karena kemajuan berdemokrasi, menjunjung sikap toleransi dan mampu mengatasi negerinya dari gejolak krisis ekonomi saat ini.

Hal senada dikatakan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Tarman Azzam bahwa isu satu atau dua putaran Pilpres 2009 seharusnya tidak menjadi masalah karena bagi masyarakat yang cerdas bisa menentukan pilihannya sesuai rekam jejak yang dimiliki pasangan capres-cawapres yang bertarung saat ini.

"Isu satu atau dua putaran Pilpres 2009 yang dikampanyekan oleh tim sukses pasangan capres-cawapres tidak jadi masalah, sepanjang bahasanya tidak menyinggung kandidat lainnya. Itu sah-sah saja, dan media massa yang mengiklankan isu seperti ini tidak salah," ujar mantan Ketua Umum PWI Pusat dua periode ini.

Meskipun demikian, Tarman meminta kalangan pers agar dalam Pilpres kali ini tetap menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan undang-undang tentang pers, terutama menjalankan fungsi edukasi untuk mendidik rakyat agar bisa memilih secara cerdas, sehingga pilihan yang ditentukan bisa mengasilkan pemimpin yang kompetensi.

"Insan pers harus profesional dan media massa harus juga memberikan pencerahan politik dengan mendorong masyarakat pemilih agar mereka ke tempat-tempat pemungutan suara pada pilpres nanti. Jangan kita biarkan masyarakat bersikap apatis, sehingga jadi golput. Golput tidak dilarang, tetapi kalau masyarakat bisa dibuat cerdas, maka Golput tidak akan terjadi," ujarnya. (T.L004/B/A041)